batampos.co.id – Krisis obat yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Embung Fatimah tak sekadar karena vendor menolak memasok obat akibat utang yang belum dilunasi, tapi banyak transaksi fiktif pembelian obat. Di atas kertas obat dibeli, namun wujudnya tak pernah ada.
Aidit dan ibunya, Yanti, harus menelan rasa kecewa. Warga Lingga itu mendapati pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Embung Fatimah Batam jauh dari harapan. Padahal, Aidit sengaja membawa ibunya berobat ke rumah sakit tersebut dengan harapan agar mendapat perawatan yang lebih baik.
Namun jauh panggang dari api. Selain pelayanan yang tak sesuai, Aidit juga harus membeli obat dengan uang sendiri di apotek luar rumah sakit. Padahal, ibunya berobat dengan menggunakan fasilitas Kartu Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola BPJS Kesehatan. Harusnya, ibunya mendapat perawatan dan obat gratis.
“Inilah obat yang saya beli di luar buat ibu saya ini. Sejak awal masuk sini (Sabtu, 20/1) memang tak ada obat ini,” ujar Aidit, Senin (22/1). Ia menunjukan obat tablet bertuliskan “Aminoral Keto Acids” kepada Batam Pos.
Kondisi serupa juga dialami pasien BPJS di poliklinik rawat jalan. Mereka memang dilayani dengan baik oleh petugas medis di klinik rawat jalan. Hanya saja, mereka tetap tidak bisa mendapatkan obat di apotek rumah sakit. Hendro, warga Dapur 12, Sagulung, datang ke apotek RSUD Embung Fatimah untuk mendapatkan obat asam lambung. Rupanya obat itu tak tersedia.
“Ini kali yang kedua saya ke sini seminggu ini, tetap sama persoalannya. Obat asam lambung saya tetap tak ada,” kata Hendro.
Sebelumnya, di hari lain, Indah, warga Tembesi Sagulung, harus mendatangi apotek lain untuk mendapatkan obat asma. Obat itu untuk kakaknya yang menjalani perawatan medis di ruangan rawat Inap. Obat asma yang dibutuhkan kakaknya tidak tersedia di apotek rumah sakit tersebut.
“Dapat di Fanindo tadi. Di sini (RSUD Embung Fatimah) tak ada katanya,” ujar Indah saat ditemui RSUD, Selasa (16/1).
Ketiadaan obat asma tersebut, diakui Indah, sudah terjadi sejak awal kakaknya dirawat di rumah sakit tersebut sepekan sebelumnya.
Kelangkaan obat di RSUD itu terjadi bukan hanya kerena vendor atau pemasok obat yang memilih menghentikan suplai obat akibat utang yang menumpuk belum dibayar. Namun juga disebabkan banyaknya penyalahgunaan anggaran di rumah sakit pemerintah itu.
Ada pengadaan obat yang fiktif. Kegiatan fiktif ini berlangsung setiap tahun yang melibatkan sejumlah pihak di RSUD Batam dan pihak ketiga.
Bobroknya sistem administrasi di RSUD Embung Fatimah ini terungkap setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Kepri melakukan pemeriksaan laporan keuangan untuk dua tahun terakhir (2016-2017). Tak tanggung-tanggung, ada 19 temuan BPK, lima di antaranya kegiatan fiktif yang dilakukan dengan sengaja.
“Ada beberapa pengadaan obat yang tidak beres dan kemungkinan fiktif,” kata Kepala Subauditoriat BPK Perwakilan Kepri, Ratna Agustini Kusumaningtias.
Modusnya, pihak RSUD mengajukan kerja sama pengadaan obat dengan pihak ketiga. Saat pihak ketiga mengajukan penawaran, pihak RSUD meminta kuitansi dan faktur pembayaran. Faktur dan kuitansi itulah yang kemudian dimanfaatkan seolah-olah telah terjadi transaksi pembelian obat. Padahal sebenarnya kerja sama tersebut fiktif belaka.
Modus yang sama juga kerap digunakan dalam pengadaan barang habis pakai. Pada 2016 misalnya. BPK menemukan pengadaan barang habis pakai yang nilainya lebih dari Rp 640 juta. Seolah-olah ada pengadaan barang habis pakai itu, namun teryata tidak ada. Ada juga penggelembungan harga (mark up) dengan cara menaikkan angka nominal pada kuitansi pembayaran.
Bahkan, BPK juga menemukan pengadaan belanja alat tulis kantor dan bahan cetakan habis pakai yang tidak sesuai ketentuan. Lalu kegiatan pendampingan penyusunan laporan keuangan tahun anggaran 2016 yang tidak sesuai kondisi sebenarnya.
“Modusnya selalu begitu. Pelakunya juga hampir sama, yakni bendahara, bendahara pembantu, dan PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan). Kami sudah mengantongi beberapa nama,” katanya.
Ratna juga mengungkapkan, pihaknya juga menemukan pembayaran utang sebesar Rp 3,54 miliar yang tidak tercatat di neraca Pemko Batam per 31 Desember. Pembayaran utang yang tak tercatat itu juga dicurigai salah satu modus penyalahgunaan anggaran. Artinya, utang terhadap pihak ketiga seolah-olah sudah dibayar, namun pihak ketiga belum menerima.
Bukan hanya pembayaran utang sebesar Rp 3,54 miliar yang tak tercatat di neraca, BPK yang merujuk neraca per 31 Desember 2016 juga menemukan pembayaran utang kepada pegawai RSUD Embung Fatimah atas jasa pelayanan BPJS sebesar Rp 8,64 miliar yang belum dibayar sampai 2017. Serta tagihan utang pihak ketiga sebesar Rp 261,52 juta yang juga tidak tercatat pada neraca Pemko Batam per 31 Desember 2016.
Lalu hasil audit tahun 2017, BPK menemukan pembayaran fiktif atas utang belanja RSUD tahun anggaran 2016. Kerugian yang ditimbulkan ditaksir sebesar Rp 319 juta. Utang dari pihak ketiga ini belum terlunasi.
Temuan lainnya adalah pengelolaan kewajiban jangka pendek RSUD yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan. Akibatnya, belanja (Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) membebani anggaran di tahun 2017.
“Temuan ini benar-benar memerlukan perhatian yang sangat serius oleh pemerintah daerah,” kata Ratna.
Ia juga menyebutkan, bobroknya pengelolaan keuangan RSUD Batam sudah sangat mengkhawatirkan. Ia menduga penyelewengan yang terjadi sudah berlangsung lama, yakni sejak 2011 lalu.
“Orangnya itu-itu saja,” jelasnya.
Setelah mengungkap 19 temuan penyimpangan di RSUD Batam, BPK Perwakilan Kepri juga mengeluarkan rekomendasi untuk ditindaklanuti dalam tempo dua bulan atau 60 hari sejak temuan itu diberitahukan ke Pemko Batam dan DPRD Batam. Temuan itu telah diberikan akhir 2017 lalu.
Kepala BPK Perwakilan Kepri Joko Agus Setyono meminta Wali Kota Batam membenahi RSUD. Langkah penyelamatan itu bisa dimulai dengan melakukan revitalisasi total pengelola RSUD.
“Bikin tim yang independen yang bisa melakukan penilaian secara menyeluruh,” ujar Joko.
Joko menduga, selama ini memang ada pembiaran. Dugaan itu terlihat dari banyaknya temuan penyimpangan dan pelanggaran yang berulang di rumah sakit pelat merah itu.
“Terlalu kompleks permasalahan di RSUD. Makanya perlu keinginan kuat kepala daerah untuk memperbaiki. Tahun lalu kita periksa rumah sakit ini, kondisi kinerja laporan keuangannya juga tidak jauh berbeda,” jelasnya.
Buruknya pengelolaan keuangan RSUD ini telah terjadi di era Dirut lama, drg Fadilla Mallarangeng yang kini dipenjara. Akumulasi persoalan tak mampu diselesaikan penggantinya, dr Gunawan, hingga ia memilih mundur meski baru masuk enam bulan menjabat sebagai Dirut RSUD Embung Fatimah.
Hanya berselang dua hari setelah dr Gunawan mundur, Wali Kota Batam Rudi menunjuk Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, dr Didi Kusmarjadi sebagai pelaksana tugas (plt) Dirut RSUD Embung Fatimah. Didi kemudian digantikan drg Ani Dewiyana sebagai Dirut definitif.
Sayangnya, Ani Dewiyana enggan memberkan lebih detail berbagai kegiatan fiktif dan besaran kerugian yang diderita RSUD, termasuk temuan BPK soal adanya pengadaan obat fiktif.
“Kami masih menunggu hasil audit lanjutan dari BPK,” ujarnya, Kamis pekan lalu di kantor Wali Kota Batam.
Namun Ani yang dilantik menjadi Dirut RSUD Batam pada 3 Januari lalu itu memastikan menindaklanjuti 19 temuan BPK, termasuk lima yang mengarah pada korupsi karena ada kegiatan dan pengadaan fiktif. Siapapun yang terlibat dalam kegiatan dan pengadaan fiktif yang merugikan RSUD itu akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Bahkan, wanita yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) Kepri sudah melakukan langkah awal dengan memutasi sejumlah pejabat di RSUD.
Ada enam pejabat lama yang diduga mengetahui persis penyalahgunaan anggaran di RSUD yang diganti. Mereka adalah Kepala Bagian Pelayanan, Kabag Program, Kabag Keperawatan, Kabag Keuangan, Kabag Umum dan Kepegawaian, Kabag Penunjang, Kabag Pelayanan Medik.
“Pergantian agar tidak mengganggu proses penyelesaian temuan audit BPK Kepri,” katanya.
Bukan hanya enam pejabat lama RSUD Batam itu yang dimutasi, Ani juga memastikan akan merombak total manajemen RSUD dalam tempo tiga bulan ke depan (tersisa dua bulan lagi).
“Persoalannya memang ruwet, tapi saya akan berusaha,” ungkapnya.
Ani sendiri optimis persoalan yang membelit RSUD bisa selesai. Mulai dari persoalan kekurangan obat, peralatan yang sudah banyak rusak, hingga persoalan tagihan-tagihan yang tersendat pembayarannya.
Ani juga mengaku sudah mendata daftar utang RSUD. Jumlah utang RSUD totalnya mencapai Rp 21,9 miliar. Utang ini sudah menumpuk seiring tidak dibayarkannya obat-obatan ke sejumlah suplier yang bekerja sama dengan RSUD.
“Total utang obat saja sekitar Rp 7,6 miliar,” ujarnya. Besaran utang tersebut juga termasuk yang menjadi temuan BPK perwakilan Kepri.
Tidak hanya itu, ia juga mengakui, dari hasil inventarisir sedikitnya ada Rp 1,5 miliar sisa klaim BPJS Kesehatan yang belum tertagih. Namun yang bisa diselamatkan hanya klaim dua tahun terakhir.
“Tunggakan tahun 2014 dan 2015 sudah tak bisa diklaim lagi,” ujarnya.
Khusus gaji pegawai yang tertunggak, Ani memastikan semua akan dibayarkan. Apalagi tunggakan hanya gaji Desember 2017 saja. Sementara gaji Januari sudah dibayar semuanya.
Gaji Desember yang tertunda itu juga tidak semua pegawai. Yang tertunda umumnya pegawai tidak tetap (PTT) BLUD atau honorer. Sementara pegawai yang berstatus PNS, termasuk 41 dokter spesialis, tidak ada masalah.
Data kepengawaian RSUD menunjukkan jumlah pegawai dan petugas medis di rumah sakit bertipe B Plus itu mencapai 623 orang. Terdiri dari 55 orang dokter spesialis, 15 orang dokter umum, tiga orang dokter gigi, 237 orang perawat, 79 orang bidan, 99 orang non keperawatan, serta 135 orang tenaga teknis lainnya.
Dari 623 orang pegawai itu, yang berstatus PNS hanya 243 orang. Terdiri dari 41 dokter spesialis, 9 orang dokter umum, tiga orang dokter gigi, 79 orang perawat, 20 orang bidan, 40 orang non keperawatan, dan 22 orang tenaga teknis lainnya.
Sedangkan 380 pegawai lainnya termasuk 20 dokter masih berstatus honor. Baik pegawai tidak tetap (PTT) maupun pegawai BLUD. Dari 20 dokter yang bertatus honorer itu, 18 orang PTT dan dua orang PT BLUD. Melihat jumlah itu, perbandingan PNS dan PTT di RSUD yakni satu berbanding dua.
“Lebih banyak PTT-nya dari pada PNS. Yang honorer semuanya ini masih nunggak (gaji bulan Desember),” jelas Ani lagi.
Lalu kapan utang obat sekira Rp 7,6 miliar dibayarkan? Ani menjelaskan, pembayaran utang obat kepada vendor juga menunggu hasil audit lanjutan BPK.
Seperti diketahui, tersendatnya pembayaran obat membuat vendor tidak mau lagi memasok obat ke RSUD. Krisis obat pun melanda RSUD beberapa pekan hingga Selasa (23/1) pekan lalu.
Krisis ini obat itu untuk sementara bisa diatasi karena Pemerintah Provinsi Kepri melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kepri memberi bantuan 26 koli obat pada Rabu (24/1) lalu.
Pihak RSUD juga sudah mengambil solusi dengan mengajukan pengadaan obat-obatan kepada ratusan vendor yang bersedia menyalurkan kebutuhan obat di RSUD.
Kesediaan ratusan vendor itu, dilihat dari peminat yang tertera dalam e-Katalog penawaran pengadaan obat-obatan yang sudah dikeluarkan oleh pihak RSUD belum lama ini.
“Ada sekitar 400-an Vendor yang bersedia. Saya rasa bulan ini sudah bisa mulai. Semoga semuanya berjalan lancar,” ujar Ani.
Tak hanya soal obat, peralatan medis RSUD Embung Fatimah yang lama tak dikaliberasi mulai ditangani. Antara lain mesin tensi meter di ruangan Unit Gawat Darurat (UGD), beberapa mesin untuk perawatan pasien di ruangan trauma center, Lima unit mesin cuci darah di Klinik cuci darah (Hemodialisa), dan beberapa peralatan medis lainnya di ruangan PICU dan ICU.
“Sejak tanggal 24 Januari lalu, sudah datang tim kalibrasi dari sejumlah vendor untuk melakukan kalibrasi. Jadi Kalibrasi tak masalah lagi,” katanya.
***
Wakil Wali Kota Batam Amsakar Achmad mengakui pihaknya sudah menerima hasil audit BPK tersebut. Ia juga mengakui sudah mengetahui 19 temuan BPK dan lima di antaranya mengarah pada tindakan korupsi karena ada unsur pengadaan fiktif, mark-up, dan juga sejumlah kegiatan fiktif.
Dari 19 temuan itu, beberapa sudah ditindaklanjuti. Salah satunya, melantik Dirut baru drg Ani Dewiyana yang diyakini mampu menyelesaikan multikrisis yang terjadi di RSUD.
“Ani memiliki waktu tiga bulan untuk merombak total manajemen RSUD. Itu salah satu rekomendasi dari BPK,” ujarnya, Kamis pekan lalu di Pemko Batam.
Ia memuji langkah Ani yang mencopot enam pejabat lama setingkat kepala bagian yang diduga mengetahui persis berbagai penyalahgunaan keuangan di RSUD selama ini. Apalagi enam pejabat lama yang diganti itu menjadi bagian yang dimintai keterangan dalam audit lanjutan BPK.
Jika memang pada akhirnya ada yang terlibat dalam sengkarut penyalahgunaan anggaran di RSUD, Amsakar mendukung untuk dilakukan penegakan hukum sesuai aturan yang berlaku.
“Siapapun yang terkait harus bertanggungjawab,” ujar Amsakar. (uma/eja/adi/nur/yui)