ADA 10 orang yang bekerja di ruangan itu. Masing-masing berfokus dengan mikrofon, layar, dan kertas-kertas laporan yang besarnya hanya selebar penggaris.
Mereka harus mencatat dan memonitor pesawat yang berada di sekitar bandara. ’’Harus hafal lokasi parkir, taxiway, runway,’’ ungkap Lestari Catur Wulandari Rini, salah seorang air traffic controller (ATC) Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Senin (19/2) lalu, Jawa Pos (grup Batam Pos) berkesempatan mengintip ’’dapur’’ para petugas pengatur lalu lintas pesawat di bandara ini. Mereka memang seperti bekerja di balik layar. Jarang disorot.
Padahal, mereka memainkan peran vital dalam keselamatan penerbangan. Dan, karena itu, dituntut konsentrasi sangat tinggi.
Untuk yang bertugas di Soekarno-Hatta, tantangannya malah lebih berat. Sebab, Soekarno-Hatta adalah bandara yang sangat sibuk. Terpadat ketiga di dunia. Dalam satu jam maksimal ada 81 kali pergerakan pesawat. Bahkan, pemerintah berencana menambah slot menjadi 100 kali pergerakan.
Di Soekarno-Hatta, para ATC atau pengatur lalu lintas udara dibagi dalam tiga bagian.
’’Bagian tower (TWR), approach control (APP), dan area control center (ACC),’’ tutur Rini.
Peraturan pertama untuk masuk ke ruang kerja ATC adalah mengheningkan telepon. Sebab, mikrofon yang digunakan untuk berkomunikasi dengan pilot sangat peka dengan suara.
Peraturan kedua adalah tidak boleh mengajak ngobrol yang sedang bekerja. Mereka harus benar-benar fokus karena berkaitan dengan keselamatan pesawat.
Ketiga, tidak boleh memotret dengan menggunakan flash. Cahaya dari flash bisa memecah fokus juga.
TWR berada di bagian paling atas tower. Jika dilihat dari luar, ruang kerja TWR mirip gardu pandang. Kaca-kaca besar mengelilingi ruangan tersebut. Petugas di situ memang bertugas memantau pesawat yang bisa terlihat dengan mata. Biasanya pesawat yang hendak landing, take off, dan sedang parkir.
Perempuan 43 tahun yang menjabat supervisor APP itu mencontohkan pesawat Lion Air yang kebetulan akan parkir. Dari pantauan mata, terlihat ada garis bertulisan A1, A2, hingga A7.
A1, A2, hingga A7 itu merujuk pada slot parkir. Pesawat Boeing tersebut akan parkir ke A6.
’’Berarti harus ada komunikasi dengan pilot agar pesawat itu parkir dan di sekitarnya tidak boleh ada pergerakan. Takutnya tidak cukup dan senggolan,’’ jelasnya.
Sementara itu, untuk daerah yang tidak terlihat dengan mata, misalnya sekitar Terminal 3 Soekarno-Hatta, petugas mengandalkan CCTV. Nah untuk pesawat yang akan mendarat, petugas biasanya melihat dari monitor.
Di monitor, pesawat hanya berbentuk titik dan kode yang berupa angka serta huruf. Biasanya terdiri atas kode pesawat, ketinggian dan kecepatan, serta datang atau pergi.
Walaupun di udara tidak ada jalan seperti angkutan darat, petugas memiliki rute yang harus diikuti pesawat. Rute itu di monitor petugas digambarkan sebagai titik-titik memanjang.
Di ruangan tersebut juga terdapat sofa besar. Bisa digunakan untuk tidur dua orang. Sofa krem itu memang digunakan untuk beristirahat.
Bekerja di tempat itu memang tidak boleh terlalu lelah. Kelelahan bisa menurunkan konsentrasi.
’’Setiap 1,5 jam atau maksimal 2 jam harus istirahat,’’ katanya.
Betapa mereka yang bekerja di dapur pengaturan lalu lintas udara itu dituntut berkonsentrasi penuh bisa dilihat dalam film Pushing Tin (1999). Dalam film tersebut diceritakan betapa tingginya tingkat stres para ATC di salah satu bandara tersibuk di Amerika Serikat yang berlokasi di New York.
Dibumbui persaingan antara Nick Falzone (John Cussack) dan Russell Bell (Billy Bob Thornton), dalam film karya Mike Newell itu disinggung bagaimana sekitar 50 persen rekrutan baru memilih mundur. Sebab, mereka tak tahan tekanan.
Karena itu pula, sebelum masuk ke ruang kerja TWR, ada ruangan yang memang disediakan khusus untuk beristirahat. Ada sebuah TV dengan PlayStation (PS).
Ada tiga petugas yang saat itu sedang beristirahat dan main PS. ’’Ada ruangan untuk tidur juga,’’ kata Rini.
Sebelum mereka bekerja, biasanya ada dokter yang memeriksa kesehatan. Dokter akan melakukan cek tensi darah. Kalau kurang fit, dianjurkan untuk beristirahat lebih dahulu.
Untuk itu, setiap ATC diwajibkan menjaga kondisi tubuh. Misalnya, menjaga pola tidur. Mood juga mesti dijaga benar agar tidak sampai mengganggu konsentrasi.
Apa pun yang terjadi di rumah, misalnya, harus ditinggal di rumah. ’’Kalau anak sakit, kita percayakan kepada yang di rumah saja. Kecuali dalam keadaan gawat seperti harus ke rumah sakit atau yang meninggal,’’ tutur Rini yang memiliki tiga buah hati.
Untuk waktu libur, biasanya tiga hari masuk kerja bisa libur sehari. ’’Tanggal merah masuk dan kalau Lebaran nanti biasanya tukar waktu dengan teman. Pokoknya saling mengerti,’’ ucapnya.
Dia pun merasa beruntung karena keluarganya tidak memberikan banyak tuntutan.
’’Anak-anak sudah biasa sejak kecil,’’ imbuhnya.
Muhammad Guntawan, ATC senior yang kini bertugas di ACC, menyebutkan bahwa bekerja di TWR lebih bikin deg-degan. Sebab, harus mengatur pesawat hendak landing dan take off. Sementara itu, Soekarno-Hatta adalah bandara yang padat.
’’Saya punya penyakit jantung. Jadi, tidak cocok di TWR,’’ kelakar bapak satu anak itu.
Namun, tidak setiap jam dalam keadaan tegang. Siang hingga sore biasanya pergerakan pesawat di Soekarno-Hatta sedikit. Petugas pun bisa sedikit lebih santai.
’’Bekerja di sini harus bisa dibuat fun. Jangan sampai ada masalah dengan rekan kerja karena ini kerja tim,’’ ujar Rini yang merupakan alumnus Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug.
Selain komunikasi dengan rekan kerja, komunikasi dengan pilot harus terjalin baik.
’’Ada juga yang tidak masuk bandara, tapi berada di kawasan udara kita. Itu juga harus ada komunikasi,’’ tegasnya.
Komunikasi dengan pilot itu memang bukan seperti percakapan ngobrol sehari-hari. Petugas ATC hanya memberikan informasi bagaimana pergerakan pesawat, cuaca, serta kondisi lalu lintas di udara maupun di bandara. Mereka lebih banyak berbicara dengan menggunakan sandi-sandi.
Misalnya, huruf A yang disebut alfa, C yang disebut charlie, dan angka yang diucapkan dalam bahasa Inggris.
’’Harus benar-benar peka. Sebab, sering pelafalannya lain,’’ ungkap Rini.
Kemampuan bicara tersebut juga harus disertai kemampuan menulis yang cepat. Jadi, ketika mulut sedang berbicara, tangan harus menuliskan laporan. Pada saat-saat tertentu juga harus membuat solusi dengan singkat. Hitungannya hanya detik.
Dari ruang TWR, Rini lantas mengajak ke ruang APP yang selantai dengan ACC. Ruang kerja tersebut berbeda. Tidak ada kaca besar dan memang lebih gelap.
Di ruangan itu terdapat banyak monitor untuk memantau pergerakan pesawat. Hal yang dikerjakan para petugas hampir sama dengan ATC di TWR. Yang berbeda adalah ketinggian pesawat. Untuk alasan itu pula, mereka memantau dengan monitor karena pesawat tidak terlihat dengan mata.
Tory Tri Ruknomo, manajer perencanaan dan evaluasi TWR-APP Kantor Cabang JATSC, menjelaskan, pekerjaan sebagai ATC bergantung pada kekompakan tim. Sebab, satu pesawat tidak hanya ditangani satu ATC.
Ibarat pesawat itu tongkat estafet, ATC adalah atlet yang berada dalam lintasan. ’’Apabila ATC sudah masuk ruang operasi kontrol, segala permasalahan, baik itu permasalahan keluarga maupun dengan rekan sejawat, harus dilepaskan dahulu,’’ tegasnya.
Upgrade kemampuan juga harus rutin dilakukan. Untuk meningkatkan kapasitas, tiap enam bulan para ATC menjalani performance check. Dalam kegiatan tersebut, kompetensi para ATC diuji. Dinilai oleh seorang check controller.
’’Passing mark nilai 70,’’ tutur Tory.
Dengan segala tuntutan kualifikasi dan tekanan itu, Rini maupun Guntawan mengaku sangat menikmati pekerjaan mereka. Meski mereka juga mengaku sangat down jika ada kecelakaan pesawat. Dan, itu tak dialami satu dua orang saja. Tapi seluruh tim.
’’Kami turut ditanya-tanya. Investigasinya lama dan membuat tidak nyenyak tidur,’’ ungkap Guntawan. (FERLYNDA PUTRI, Tangerang)