batampos.co.id – Angkringan menjadi salah satu ciri khas sekaligus kuliner legendaris di Jogjakarta. Model kuliner dengan gerobak ikonik itu tidak hanya sering dijujuk karena banyaknya pilihan angkringan. Melainkan juga karena harganya. Murah!
Namun, murahnya harga berbagai menu yang ditawarkan ini belum mencukupi gizi seimbang. Meski, aneka menu angkringan sebenarnya telah mengandung zat yang dibutuhkan tubuh. Nasi ”kucing”, contohnya. Nasi yang biasanya dibungkus dengan koran bekas ini mengandung karbohidrat. Pun dengan lauk-pauk. Aneka lauk seperti tempe dan tahu ini mengandung protein.
Ahli gizi Rumah Sakit Jogja International Hospital (JIH) Kartika Nur Fitriani mengingatkan, menu dengan gizi seimbang harus memenuhi standar kebutuhan gizi sehari-hari. Tidak hanya karbohidrat dan protein. Melainkan juga buah dan sayur. Seperti menu program Isi Piringku yang dicanangkan pemerintah. Nah, angkringan tidak menawarkan pilihan buah dan sayur.
”Satu porsi makan harus ada 50 persen sayur dan buah. 50 persen lainnnya berupa karbohidrat dan protein,” jelas Kartika di kantornya pekan lalu.
Jomplangnya asupan gizi menu di angkringan ini diperburuk dengan perilaku pembeli. Mayoritas konsumen angkringan cenderung memilih menambah jumlah lauk. ketika mengonsumsi satu bungkus nasi “kucing”, konsumen biasanya menghabiskan dua hingga tiga lauk gorengan. Belum lagi tambahan sate usus atau telur puyuh. Jamak konsumen dalam sekali “ngangkring” menghabiskan dua hingga tiga bungkus nasi “kucing”. Padahal, satu potong tempe mengandung 25 gram protein nabati. Sementara kandungan protein nabati yang dibutuhkan tubuh dalam sekali makan hanya 100 gram.
”Kalau makan tempe atau tahu lebih dari empat berarti sudah kelebihan. Terkadang malah ditambah usus, kepala, dan telur puyuh,” ingatnya.
Menurut Kartika, kebutuhan gizi protein orang dewasa bisa dipenuhi dengan mengonsumsi sumber protein nabati 100 sampai 400 gram dalam sehari. Itu berasal dari lauk-pauk seperti tahu, tempe, dan kacang-kacangan. Sedangkan untuk protein hewani seperti telur, ikan, daging sapi, dan daging ayam, cukup dengan mengonsumsi 70 sampai 160 gram sehari.
Karena itu, Kartika memberikan kiat makan sehat di angkringan. Caranya dengan memperhatikan porsi.
”Untuk nasi angkringan cukup mengonsumsi dua bungkus saja dengan lauk secukupnya. Kalau ada buah-buahan seperti pisang, bisa juga dikonsumsi untuk pelengkap gizi,” tuturnya.
Kiat lainnya adalah memilih makanan sesuai dengan kondisi tubuh. Bagi yang memiliki bakat kolesterol, lebih baik menghindari jeroan ayam dan gorengan berminyak.
Berbagai kiat ini, Kartika menekankan, tidak bertujuan untuk melarang makan di angkringan.
”Tapi tetap harus memenuhi kebutuhan gizi lainnya,” tuturnya.
Asisten Ahli Bagian Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Dr. Lily Arsanti Lestari STP MP mengungkapkan hal senada. Menurutnya, mayoritas pilihan menu yang dijual angkringan tidak sehat. Itu lantaran tinggi lemak, karbohdirat, dan rendah serat.
“Jarang ada angkringan yang menjual masakan dari sayuran,” ujarnya.
Dosen Program Pendidikan Gizi Kesehatan UGM ini mengaku pernah melakukan penelitian. Hasilnya, angkringan tidak higienis. Sanitasinya juga dipertanyakan. Contohnya, pencucian peralatan dengan air seadanya. Seharusnya dengan air mengalir. Itu lantaran mayoritas angkringan berada di pinggir jalan.
”Air bersihnya susah, sehingga hanya satu atau dua ember digunakan untuk mencuci gelas dan piring,” kritiknya.
Dalam kesempatan itu, Lily juga menyinggung mengenai kualitas menu angkringan yang di-display hingga lebih enam jam. Menurutnya, hal tersebut memicu kemungkinan cemaran bakteri, sehingga berpotensi mengakibatkan keracunan.
”Makanan yang dipanasi berulang-ulang juga membuat zat gizinya rusak,” tambahnya.
Atas dasar itu, Lily mendorong perlu adanya standardisasi angkringan sehat. Bila perlu Pemprov DIJ mempersiapkan regulasinya. Pertimbangannya, angkringan termasuk ikon Jogjakarta. Tidak sedikit wisatawan yang penasaran. Kendati begitu, kata Lily, standardisasi harus disertai dengan pendampingan. Toh, pemprov memiliki dana keistimewaan (danais).
”Danais tak hanya digunakan untuk sarpras dan kesenian saja. Tapi (seharusnya) bisa untuk mengangkat makanan lokal untuk menjadi berkelas,” saran Lily menyebut hal itu bertujuan agar pendampingan dapat menjangkau seluruh pedagang angkringan.
Lily menceritakan, timnya pernah memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada sejumlah pedagang angkringan. Tim juga memberikan bantuan peralatan untuk mendukung keamanan kepada mereka. Hanya, jangkauan penyuluhan ini masih terbatas.
Ketika disinggung mengenai angkringan yang disajikan di hotel dan restoran mewah, Lily menjamin higiene dan sanitasinya lebih baik. Beragam menunya juga telah dimodifikasi.
”Modifikasi perlu dilakukan agar ada menu sayur dan buah di angkringan, sehingga menjadi menu yang sehat,” tambahnya.
Pilih Angkringan Karena Terjangkau
Angkringan tidak bisa dipisahkan dari mahasiswa. Terutama saat akhir bulan. Angkringan menjadi pilihan favorit mahasiswa saat dompet menipis.
Falid Ikwan Rivani, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga mengaku kerap makan di angkringan. Dalam sekali makan, dia hanya mengeluarkan uang Rp 10 ribu hingga Rp 18 ribu.
Dia sadar betul bahwa menu angkringan tidak bergizi. Kalah dibanding pilihan menu yang ditawarkan warung makan lainnya. Kendati begitu, hal tersebut tak menjadi persoalan.
Keterangan serupa disampaikan Anisa Hernaning Tyas. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini cukup sering jajan di angkringan. Hanya, dia memilih angkringan tertentu. Terutama, yang memperhatikan aspek kebersihan.
”Kalau untuk gizi makanan sama saja. Kurang,” ungkap Anisa mengaku dalam sekali “ngangkring” hanya mengeluarkan Rp 20 ribu. (ita/cr9/cr7/zam/jpg)