batampos.co.id – Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendorong calon anggota legislatif (caleg) yang berkontestasi di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 untuk transparan. Mereka harus bersedia mempublikasikan riwayat hidup dan dokumen lainnya di laman infopemilu.kpu.go.id.
Komisioner KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, pihaknya akan meminta kepada partai politik agar para calegnya bersedia mempublikasikan dokumen, khususnya riwayat hidup atau curriculum vitae (CV).
Menurutnya, hal itu perlu agar masyarakat mengetahui riwayat caleg yang akan dipilihnya. Sebab, tidak sedikit caleg yang keberatan mempublikasikan riwayat hidup, surat keterangan catatan kepolisian, surat tidak pernah dipidana serta dokumen lainnya dalam laman infopemilu.kpu.go.id. “Harusnya dibuka. Kalau dia menjadi calon pejabat publik yang akan dipilih langsung, deklarasikan diri, bukalah diri tentang siapa saya,” ucap Hasyim di kantor KPU, Selasa (13/11).
Hasyim mengamini bahwa ada beberapa dokumen milik caleg yang tidak perlu dipublikasikan, misalnya ijazah. Ini karena sangat rawan penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Hasyim menuturkan, fotokopi ijazah memang dokumen yang dikecualikan untuk dipublikasi berdasarkan UU No 7/2017 tentang Pemilu. Berbeda halnya dengan dokumen riwayat hidup. Dirinya menggarisbawahi bahwa riwayat hidup caleg sangat penting diketahui untuk masyarakat, baik itu latar belakang pendidikan, pekerjaan hingga pengalaman organisasi.
Masyarakat atau pemilih, lanjut Hasyim, perlu tahu mengenai calon wakilnya di parlemen secara mendalam. “Salah satu asas pemilu kan umum. Masyarakat harus tahu siapa yang dicalonkan, seperti apa kandidatnya? Jadi wajar saja kalau profil calon dimunculkan untuk diketahui publik,” imbuhnya.
Terpisah, Rahmat Bagja, anggota Bawaslu mendorong parpol dan caleg agar tidak keberatan dokumen riwayat hidupnya dapat diakses di laman infopemilu.kpu.go.id. “Latar belakang pekerjaan, pendidikan biar orang tahu. Masa caleg sembunyikan soal itu,” ucap Bagja saat dihubungi, kemarin.
Bagja juga mengamini bila KPU memang tidak memberi kelonggaran kepada para caleg perihal transparansi riwayat hidup dan dokumen lainnya. Kelonggaran itu diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) No 20/2018. Para caleg diberi pilihan bersedia atau tidak bersedia riwayat hidupnya dipublikasikan di laman infopemilu.kpu.go.id.
Meski keberatan mempublikasikan riwayat hidup bukan pelanggaran, Bagja tetap mendorong para caleg untuk terbuka. Dia menganggap riwayat hidup atau CV merupakan dokumen yang perlu diketahui masyarakat. Tentu agar tidak salah memilih caleg. “Ya aturannya memang seperti itu, tapi kami mendorong agar dibuka,” tandasnya.
Wasekjen PPP Achmad Baidowi mengakui partainya memang membolehkan caleg merahasiakan dokumen riwayat hidupnya. Namun, dia mengklaim hal itu tidak melanggar aturan karena KPU mengakomodir melalui PKPU No 20/2018.
Hukumannya Lebih Berat
Sebanyak 40 mantan napi koruptor mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif (caleg). Dalam menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, pihaknya tidak dalam ranah melarang pencalonan mantan napi korupsi yang menjadi caleg. Namun, KPK dalam ranah sisi integritas pada calon-calon tersebut.
”Caleg kalau formilnya tidak dilarang undang-undang tentu KPK tidak dalam posisi mengomentari pencalonan tersebut. Tapi kalau dari sisi integritas tentu harapan kita mereka menemukan pintu tobatnya saat mencalonkan kembali (caleg, Red),” kata Wakil Ketua KPK saat dihubungi INDOPOS lewat pesan singkat, Jakarta, Selasa (13/11).
Saut menegaskan, jika mantan napi koruptor terpilih kembali menjadi wakil rakyat dan melakukan Tindak Pidana Korupsi kembali, KPK akan memberatkan hukumannya. ”Kalau perilaku diulang dapat dibayangkan Jaksa Penuntut KPK dan mungkin juga Hakim akan menjadikan pertimbangan yang memberatkan bila yang bersangkutan korupsi lagi,” tegasnya.
Selain itu, Saut juga menyarankan kepada masyarakat Indonesia untuk menggunakan imajinasi dan apresiasinya dalam menggunakan hak pilihnya. ”Wah itu terserah pada pemilih, kita persilakan para pemilih menggunakan imajinasi dan apresiasi masing-masing. Bagi KPK kompetensinya yang utama jika mereka melakukan pidana (vultoid, Red) dan bisa kita buktikan tentu dibawa ke meja pengadilan,” tandasnya.
Tak hanya KPK, Indonesian Corruption Watch (ICW) juga menanggapi tersebut. ICW menyatakan, pencalonan tersebut bertentangan dengan semangat dalam pemberantasan korupsi.
”Sikap kami sejak perumusan larangan di PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) tentu kami sangat mengecam. Ini terutama pencalonan untuk DPR dan DPRD yang dilakukan partai. Dapat dikatakan ini bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi,” kata Peneliti ICW Almas Sjafrina saat dihubungi INDOPOS.
Jika terpilih kembali, lanjut Almas, tidak menutup kemungkinan mantan napi koruptor itu dapat melakukan tindakan korupsi kembali. ”Kemungkinan koruptor kembali melakukan korupsi juga ada. Bahkan sudah ada contohnya. Soal kerentanan ini, tidak hanya mantan napi koruptor. Tapi semua punya kerentanan jadi juga harus diwaspadai,” cetusnya.
Untuk menghindari mantan napi koruptor menjadi anggota legislatif, Penelti ICW itupun menyarankan KPU harus memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia mengenai daftar mantan napi koruptor yang mencalonkan diri menjadi caleg.
”Saya rasa sebelum mengantisipasi mereka kembali korupsi, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi mereka terpilih dalam Pileg 2019. Dalam hal ini KPU penting membuka daftar nama dan kasus korupsi mantan napi koruptor yg maju di Pemilu 2019. Info ini penting agar publik tahu caleg mana saja yang punya rekam jejak merah dalam hal kasus korupsi,” papar Almas.
Sebelumnya, KPK mengimbau masyarakat berhati-hati menggunakan hak pilih pada Pileg 2019. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya sudah cukup banyak memproses secara hukum pelaku korupsi dari kalangan dewan. Dari DPR sekitar 69 orang yang diproses, sedangkan anggota DPRD sekitar 149 orang. ”Kami harap korupsi tidak lagi terjadi,” tandasnya. (aen/cr-1)