Beberapa kawasan industri di Batam kini banyak menggunakan gas bumi sebagai energi untuk menopang kebutuhan bahan bakarnya. Selain karena aman dan efisien, penggunaan gas bumi nyatanya juga mampu menarik banyak investor asing berbondong-bondong masuk kawasan industri. Dengan banyaknya investasi, maka tak heran pertumbuhan ekonomi Batam kembali menanjak tinggi.
RATNA IRTATIK, Batam
Cerobong asap besar di area pembangkit listrik internal milik Kawasan Industri Batamindo atau Batamindo Industrial Park di Mukakuning, Seibeduk, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) itu berdiri menjulang. Diamati dari jarak sekitar 20 meter, tak ada asap yang mengepul dari cerobong tersebut. Padahal, tepat di gedung sampingnya, terdengar suara bising dari mesin-mesin besar yang dihidupkan. Mesin-mesin itu terhubung dengan pipa cerobong asap tadi. Mesin itu tak lain adalah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Gas (PLTDG) atau gas engine, pembangkit listrik mandiri milik Kawasan Industri Batamindo.
“Sejak beralih dari BBM (Bahan Bakar Minyak) ke gas bumi, memang tak ada lagi asap hitam di cerobong itu,” kata Brahim Abdullah, Senior Manager Power House PT Batamindo Investment Cakrawala (BIC), pengelola Kawasan Industri Batamindo saat dijumpai Batam Pos, beberapa waktu lalu.
Padahal, kata Brahim, beberapa tahun silam ketika masih menggunakan BBM untuk menghidupkan mesin-mesin pembangkit, kondisi cerobong asap terlihat hitam. Begitu juga dengan asap yang keluar dari mulut cerobong, warnanya pekat saat menyembur ke udara. Namun kini, setelah manajemen memutuskan beralih menggunakan gas bumi sebagai bahan bakar, asap hitam sudah menghilang. “Udara jadi bersih, dan tentunya ramah lingkungan,” kata dia.
Menurut Brahim, Batamindo memang tidak menggunakan suplai listrik dari PT Pelayanan Listrik Nasional Batam (bright PLN Batam), yang merupakan anak usaha dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN Persero). Itu karena, mereka sudah memiliki pembangkit listrik sendiri yang berjenis Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Gas (PLTDG) atau gas engine. Jumlahnya ada 18 unit, masing-masing berkapasitas kurang lebih 6 Mega Watt (MW). Selain itu, ada satu unit mesin turbin gas kapasitas 10 MW. Total kapasitas semuanya 124 MW.
Untuk menghidupkan pembangkit listrik tersebut, Batamindo menggunakan energi dari bahan bakar gas bumi yang disuplai oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Batam.
“Sejak pakai gas, pembakarannya sempurna sehingga tidak menyisakan asap hitam. Berbeda ketika dulu masih pakai solar atau minyak bakar yang biasa disebut HFO (heavy fuel oil), cerobong itu dulu berasap dan hitam,” paparnya.
Menurut General Manager Batamindo, Mook Sooi Wah, penggunaan gas bumi sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik di Kawasan Batamindo membawa beberapa keuntungan sekaligus. Selain tak menyisakan limbah dan ramah terhadap lingkungan, gas bumi juga dinilai lebih efisien ketimbang BBM seperti solar maupun HFO. Dari hitungan bisnis, gas bumi lebih hemat.
“Kita hemat bisa sampai 18 persen setelah beralih ke gas bumi,” kata Mook.
Menurut dia, dalam sebulan Kawasan Industri Batamindo membutuhkan suplai energi dalam jumlah yang cukup besar hingga mencapai 3,1-3,3 juta kilowatt jam (kilowatt hour/kWh). Energi itu digunakan untuk menyuplai kebutuhan listrik yang besarnya mencapai 57 MW saban harinya. Karena itu, kawasan industri seluas 320 hektare (ha) itu mengklaim butuh pasokan bahan bakar yang stabil dan berkelanjutan. Pilihan itu telah jatuh pada gas bumi.
Rata-rata, kata Mook, setiap bulan kawasan industri Batamindo butuh suplai gas bumi sebanyak 360 Million Metric British Thermal Unit (MMBTU). Sedangkan kebutuhan per hari mencapai 11,5 MMBTU.
“Kita butuh yang aman, dan menghasilkan tegangan dan frekuensi yang stabil. Sejauh ini pakai gas bumi cukup bagus,” katanya.
Selain untuk pembangkit listrik, Mook juga menyebut pihaknya telah bekerja sama dengan PGN Batam untuk menyediakan suplai gas bumi bagi kebutuhan operasional masing-masing perusahaan yang berada di kawasan industri tersebut. Misalnya, untuk menunjang kegiatan produksi suatu perusahaan.
“Mayoritas tenant (penyewa) kita merupakan industri manufaktur, jadi ada sebagian yang sudah pakai gas bumi untuk membantu proses produksi,” tuturnya.
Tak hanya itu, lanjut Mook, sebagai kawasan industri di Kota Batam yang harus menunjukkan daya tarik bagi investor asing lantaran berhadapan langsung dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, Batamindo juga mengklaim berupaya menerapkan standar internasional. Antara lain, terkait standar ramah lingkungan dalam penggunaan energi.
“Karena bisa saja satu perusahaan melakukan audit terkait lingkungan. Terlebih bagi perusahaan dari negara-negara Eropa, mereka ada aturan yang harus diikuti, termasuk penggunaan energi ramah lingkungan. Maka itu, Batamindo wajib mendukung standar tersebut,” paparnya.
Dengan pemenuhan kebutuhan energi yang sesuai standar internasional tersebut, pihak pengelola kawasan industri berharap makin banyak investor, terutama arus modal dari mancanegara yang mengalir masuk ke Batam, khususnya ke dalam kawasan industri tersebut.
“Karena efeknya untuk menggerakkan ekonomi. Makin banyak investor masuk, tentu tenaga kerja yang terserap juga makin banyak, ekonomi tumbuh,” ujarnya.
Lantaran begitu pentingnya penggunaan gas bumi bagi Kawasan Industri Batamindo, Mook berharap PGN Batam juga terus menjamin keberlanjutan pasokan gas. Termasuk, jika suatu waktu permintaan gas meningkat lantaran adanya peningkatan kebutuhan, baik itu dari kawasan industri sendiri maupun dari para tenant di dalam kawasan.
“Sejauh ini memang belum pernah ada kendala, suplai masih oke. Ke depan saya harap terus begitu,” kata dia.
Selain Kawasan Industri Batamindo, kawasan industri lain di Kota Batam yang juga menggunakan gas bumi sebagai bahan bakar energi yakni Kawasan Industri Terpadu Kabil atau Kabil Integrated Industrial Estate di Kabil, Nongsa, Kota Batam.
Presiden Director Kabil Integrated Industrial Estate, Peters Vincen mengatakan kawasan industri tersebut telah beralih dari BBM ke gas bumi sejak PGN masuk ke Batam.
“Bahkan grup usaha kita, PT Citra Tubindo Tbk termasuk salah satu pionir yang berlangganan gas bumi di Batam,” kata Peters, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, penggunaan gas bumi untuk menopang kebutuhan energi di Kawasan Industri Kabil merupakan suatu keharusan. Pasalnya, kata dia, kawasan industri tersebut mayoritas diisi oleh tenant yang bergerak di bidang industri penunjang minyak dan gas (migas), baik dari dalam dan luar negeri.
“Jadi kita juga harus mengikuti standar HSE (Health Safety Environtment/Keselamatan Kesehatan Kerja Lingkungan Hidup) untuk oil and gas (minyak dan gas), terutama dalam hal penggunaan energi,” paparnya.
Di kawasan industri terluas se-Batam dengan luas area 520 ha tersebut, sambung Peters, gas bumi juga digunakan untuk menghidupkan pembangkit listrik. Saat ini, Kawasan Industri Kabil bekerja sama dengan bright PLN Batam telah memiliki power plant atau pembangkit listrik mandiri yang khusus digunakan untuk kebutuhan listrik di kawasan, dengan kapasitas mencapai 28 MW.
“Bahan bakarnya sudah pasti menggunakan gas bumi,” katanya.
Penggunaan gas bumi juga diklaim lebih hemat dan ekonomis dibanding saat menggunakan BBM, baik itu solar maupun HFO.
“Berdasarkan pengalaman PT Citra Tubindo, penggunaan gas untuk pembangkit listrik lebih efisien 25 persen,” sebutnya.
Selain untuk pembangkit listrik, sambung Peters, gas bumi juga digunakan untuk kebutuhan bahan baku dan penunjang produksi para tenant yang ada di dalam kawasan industri.
“Misalnya PT Natgas (National Industrial Gases) Indonesia, itu bahan bakunya memang gas bumi untuk diolah jadi berbagai variasi produk. Begitu juga beberapa tenant besar yang beralih ke gas untuk menunjang proses produksinya, seperti Bredero Shaw dan Yokohama,” sebutnya.
Menurut Peters, para tenant yang kebanyakan merupakan investor asing memang menghendaki penggunaan energi yang bersih dan ramah lingkungan sesuai standar internasional. Bahkan, beberapa waktu sebelumnya, Peters menyebut calon investor besar yang akan masuk ke Batam dan tertarik untuk menyewa area di Kawasan Industri Kabil mengajukan syarat agar kawasan industri itu menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Karena itu, gas bumi jadi pilihan.
“Karena kan memang hampir semua dituntut agar menggunakan yang emisi gas buangnya ramah lingkungan. Makanya kita penuhi itu, sehingga makin banyak yang tertarik masuk ke sini,” ujarnya.
Dalam beberapa waktu terakhir, kata Peters, deretan investor baru yang juga berkomitmen masuk ke Kawasan Industri Terpadu Kabil antara lain PT Enerco RPO Internasional, PT Agri Energi Nusantara, PT Petro Papua Energi, PT Torrefaction Bioenergy Indonesia, dan PT PTEC Research & Development.
Peters menjelaskan, PT Enerco RPO International saat ini sedang membangun kilang treated distillate aromatic extract (TDAE) dan diestimasikan beroperasi secara komersil sekitar Januari atau Februari 2019. TDAE merupakan produk turunan hasil pengolahan minyak mentah, yang dimanfaatkan untuk bahan baku utama industri ban dan karet sintetis.
“Investasinya mencapai 90 juta US dolar (Sekitar Rp 1,3 triliun, dengan kurs 1 US dolar=Rp 14.500),” sebut Peters.
Selanjutnya, sambung Peters, PT Agri Energi Nusantara bergerak di bidang CPO dan akan membangun pabrik minyak goreng. Sementara PT Petro Papua Energi bergerak di bidang jasa penambangan minyak dan gas alam. “Saat ini menggunakan lahan di Kawasan Industri Terpadu Kabil sebagai open storage untuk reparasi dan maintenance module,” terangnya.
Berikutnya, adalah PT Torrefaction Bioenergy Indonesia, merupakan anak perusahaan dari DSJ Holding Inc di Jepang, yang saat ini menggunakan warehouse di Kawasan Industri Terpadu Kabil dengan luas 10.000 meter persegi. Sebagai tahap awal, untuk pembangunan pabrik cangkang sawit yang digunakan sebagai bahan utama untuk menghasilkan biofuel.
Selanjutnya, ujar Peters, PT PTEC Research & Development adalah anak perusahaan TESS Engineering Jepang dan merupakan grup yang sama dengan PT Torrefaction Bioenergy Indonesia.
“Perusahaan ini akan menjadi perusahaan penelitian dan pengembangan untuk industri kimia organik. Saat ini PT PTEC menggunakan fasilitas warehouse seluas 5.000 meter persegi,” jelas Peters.
Selain penyediaan energi yang ramah lingkungan, Peters juga menyebut kawasan industrinya juga dilengkapi dengan pelabuhan kargo internasional terbesar di Batam, yang terdapat di dalam Kawasan Industri Terpadu Kabil dan dikelola oleh PT Sarana Citranusa Kabil.
“Pelabuhan ini dapat disandari kapal 50.000 dwt dengan draft sedalam 12,5 meter,” jelasnya.
Bagi para investor baru tersebut, lanjut dia, pihak pengelola Kawasan Industri Kabil juga mengaku turut menyampaikan informasi terkait ketersediaan suplai gas bumi di dalam kawasan. Sehingga, sewaktu-waktu para tenant membutuhkan sambungan gas bumi, akan lebih mudah dan cepat.
“Kerja sama kita dengan PGN bagus sekali, jadi kalau ada yang butuh informasi soal gas, kita undang PGN untuk memberikan informasi secara langsung,” ujarnya.
Meski begitu, Peters berharap agar harga gas bumi untuk industri juga mengalami penyesuaian. Mengingat, kata dia, harga gas di negara tetangga yang juga memiliki kawasan industri dan berlomba menarik investor seperti Malaysia dan Vietnam, tergolong kompetitif.
“Harga gas ke tenant-tenant kami sesuai rate resmi dari PGN adalah 7,20 US dolar per MMBTU sampai dengan 7,38 per MMBTU,” sebut Peters.
Selain kawasan industri Batamindo dan Kabil, PGN juga telah mengalirkan energi gas bumi ke beberapa kawasan industri lain di Batam. Antara lain, Panbil Industrial Estate, Taiwan International Park, Tunas Industrial Estate, Cammo Industrial Park, Executive Industrial Park, Latrade Industrial Park, dan Bintang Industri.
PGN juga telah memasok gas bumi untuk 4.842 pelanggan di wilayah Batam. Rinciannya, 93 industri dan komersial, 29 pelanggan kecil, serta 4.720 pelanggan rumah tangga. Sementara, pipa gas bumi yang dimiliki dan dioperasikan PGN di Batam sepanjang 223,57 kilometer (km).
Sebagai kota yang menjadi sentra penggerak ekonomi di Provinsi Kepri, Batam memang menjadi tumpuan harapan. Banyak industri maupun kawasan industri yang beroperasi di kota ini. Tak heran, Batam kemudian mendapat predikat sebagai kota industri.
Namun sayangnya, ekonomi Batam dan Kepri pada umumnya sempat terempas saat krisis global menghantam sejak sekitar dua tahun terakhir. Data dari Badan Pusat Statistik Kepri menyebut, pada triwulan I tahun 2017 lalu, ekonomi Kepri hanya tumbuh 2,02 persen (yoy), lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,24 persen (yoy). Bahkan, di triwulan II-2017, pertumbuhan ekonomi Kepri terseok-seok di angka 1,04 persen (yoy), terburuk sepanjang sejarah provinsi ini terbentuk.
Tercatat, tiga sektor andalan Kepri mengalami keterpurukan, yakni industri pengolahan, konstruksi dan pertambangan-penggalian yang turun sangat signifikan. Bahkan, industri pengolahan dan pertambangan mengalami kontraksi (pertumbuhan minus), terburuk dalam tujuh tahun terakhir. Imbasnya, banyak terjadi pemutusan tenaga kerja dan meningkatnya jumlah pengangguran dalam kurun dua tahun terakhir.
Namun, kondisi itu perlahan-lahan berubah. Pertumbuhan ekonomi Batam dan Kepri kembali pada trek positif dan menunjukkan peningkatan dalam setahun belakangan ini. Salah satu penyebabnya, karena banyaknya investasi yang masuk.
Merujuk data dari Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Kepri, setelah mengalami perlambatan yang cukup signifikan pada 2017, ekonomi Kepri menunjukkan kinerja yang membaik pada 2018. Secara kumulatif Triwulan I sampai dengan III tahun 2018, ekonomi Kepri tumbuh sebesar 4,24 persen (yoy), lebih baik dibandingkan kumulatif Triwulan I sampai dengan III tahun 2017 sebesar 1,82 persen (yoy).
Dari sisi pengeluaran, penguatan ekonomi Kepri terutama disebabkan oleh penguatan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB), yang memiliki porsi sebesar 43,18 persen terhadap perekonomian Kepri. Pertumbuhan investasi Triwulan I sampai dengan III tahun 2018 tercatat sebesar 10,12 persen (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tumbuh sebesar 3,84 persen (yoy).
“Sejak 2013 hingga Triwulan III tahun 2017, pertumbuhan investasi cenderung menurun sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi Kepri. Tapi pada 2018, investasi mulai tumbuh menguat dibandingkan periode 2013-2015,” kata Kepala BI Kepri, Gusti Raizal Eka Putra.
Karena itu, untuk menarik makin banyak investasi, beberapa kawasan industri di Batam terus bersolek dan melengkapi persyaratan yang diperlukan agar investor tertarik menanamkan modalnya di Batam. Salah satunya, dengan menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan dan sesuai standar global.
Sementara itu, pihak PGN Batam menyambut baik makin banyaknya kawasan industri di Batam yang menggunakan gas bumi untuk mendukung operasional maupun memenuhi kebutuhan energi di dalam kawasan industri di seluruh Batam.
Sales Area Head PGN Batam, Amin Hidayat mengatakan PGN Batam berkomitmen untuk menyediakan pasokan gas bumi bagi seluruh pelanggan di Batam. Menurut dia, penyediaan energi bagi sektor industri merupakan amanat dari sisi bisnis perusahaan. Karena itu, PGN juga menjamin kecukupan pasokan, termasuk jika terjadi kenaikan jumlah pelanggan dari kawasan industri di Batam.
“Kita akan layani berapapun kebutuhan pelanggan. Bahkan, kita sanggup melayani suplai dua kali lipat dari jumlah pelanggan saat ini,” kata Amin.
Selain untuk kawasan industri, PGN uga menyatakan komitmennya untuk mengakomodir kebutuhan pelanggan gas untuk sektor industri umum baik itu yang berskala besar maupun kecil. Begitu juga untuk sektor komersial, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta bagi kalangan rumah tangga di Batam.
Meski begitu, pihak PGN Batam menyatakan keinginan besarnya agar dapat menjangkau lebih banyak lagi pelanggan di seluruh Batam. Mengingat, belum semua kalangan bisa menikmati gas bumi karena keterbatasan infrastruktur pipa gas bumi.
“Kita memang hari ini belum menjangkau seluruh calon pengguna gas, itu memang terkait layanan jangkauan penggunaan pipa, makanya kita sediakan SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas),” katanya.
SPBG yang berlokasi di Belian, Batam Center, Kota Batam itu memang digadang untuk memenuhi kebutuhan gas bagi sektor yang belum terlayani sambungan pipa gas PGN Batam.
“Dari SPBG itu, kita siap menyediakan gas untuk kebutuhan transportasi kendaraan. Kita juga siap untuk mengirimkan gas terkompresi untuk kebutuhan lainnya, seperti komersial dan industri,” ujar Amin.
Terkait harga, Amin mengatakan PGN Batam menerapkan harga yang standar bagi kawasan industri. Harga tersebut dinilai sudah mencerminkan harga keekonomian.
“Harga gas industri di Batam masih lebih kompetitif dibanding daerah lain di luar Batam,” kata dia. (*)