Seakan mewujudkan mimpi lama di usianya yang sudah 82 tahun.
Itulah kesan dari debut Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie disingkat BJ Habibie, belakangan ini yang semakin intens ke Batam.
Tampak semangat dan tak kenal lelah. Seolah hendak meneruskan mimpi lama yang belum terwujud. Harapan yang tertunda, saat dia memimpin pengembangan ekonomi kawasan ini, dalam dua dekade.
Menjadikan Bandara Internasional Hang Nadim Batam menjadi hub di Asia Pasifik, misalnya. Mewujudkan Batam menjadi pusat Maintenance Repair Overhaul (MRO) berskala dunia. MRO untuk berbagai pesawat terbang internasional maupun dalam negeri.
Sejak awal memang lokasi MRO ini telah diplot di kawasan Bandara Hang Nadim, yang dia bangun semasa kepemimpinannya di sini.
Meski memang bukan saat kekuasaannya, beberapa tahun belakangan, baru Lion Air yang mengoperasikan MRO terhadap pesawatnya yang ratusan itu. Itu jugalah yang akan ditinjau BJ Habibie dalam agenda kunjungan di kawasan free trade zone (FTZ) Batam, beberapa hari ini.
Banyak sebenarnya niat baik BJ Habibie yang tertunda, semasa menjabat. Banyak pula angan yang tak sampai.
Mimpi menjadikan kawasan ini sebagai basis kekuatan ekonomi berskala dunia, merancang Batam menjadi lokomotif ekonomi nasional, yang belakangan pertumbuhan ekonominya menurun tajam.
Perspektif awal mengembangkan Batam bukan tanpa alasan. Kita tahu bahwa potensi kawasan ini sangat strategis.
Berada di antara perdagangan regional. Apalagi visi BJ Habibie yang memang tajam dan bermasa depan. Tapi kadang harapan dan rencana bukan tanpa rintangan. Selalu ada itu.
Apalagi waktu jugalah membatasi langkah Habibie meneruskan karya dan cita-citanya di Batam di masa itu.
Hingga dia naik takhta Wakil Presiden semasa masih Suharto memimpin negeri ini tahun 1998. Kemudian menjadi presiden ketiga di republik ini.
Pers Mengkritik Keras
Tak selalu yang diimpikan menjadi kenyataan. Tak semua pula kendala terjadi karena faktor kebijakan.
Terpaan gelombang badai ekonomi dunia, semasa kepemimpinannya, juga bagian yang membuat banyak program terseok.
Maka BJ Habibie pun tak lepas dari berbagai sorotan saat itu. Muncul gelombang kecemburuan sosial di tataran masyarakat lokal. Ini juga menyita waktu cukup lama.
Isu dua nakhoda dalam satu bahtera, bukan yang tiba-tiba muncul sekarang. Itu sudah isu klasik, sejak Batam mulai menggeliat.
Lain lagi tentang sorotan atas energi dan biaya yang digelontorkan. Ini dianggap tak sebanding dengan hasil. Sampai Menteri Keuangan Radius Prawiro yang ipar Suharto, saat itu dikabarkan mulai melakukan evaluasi.
Pers pun tidak tinggal diam. Beberapa media mengangkat isu itu. Mengkritisi seretnya perjalanan pengembangan kawasan ini.
Salah satu artikel yang panas menyorot saat itu, terbit di media nasional papan atas.
“Batam, Antara Mimpi dengan Kenyataan”. Demikian judul artikel itu.
Bagaimana penulis artikel itu mengulas spektrum dan dinamika pembangunan yang dilaksanakan BJ Habibie, terlihat lamban. Hal yang tajam disorot adalah terjadinya disparitas anggaran yang dialokasikan, dibanding dengan realisasi pembangunan.
Tajam memang isi artikel itu. Apakah karena data dan analisa artikel itu kurang pas dan seolah tendensius, hanya manajemen redaksi media itulah yang paham.
Tapi tak lama setelah itu, redaktur pelaksana koran itu, tiba-tiba hilang di boks redaksi.
Upaya membangun Batam dari nol, memang serba tak mulus. Pun dana yang dihabiskan tak sedikit. Dapat dibayangkan bagaimana ketika itu membangun berbagai infrastruktur dari tak ada. Semisal jalan hotmix, pelabuhan laut, dan udara.
Kemudian, waktu pun bergulir terus. Dalam perjalanannya, disebut di atas, tak semua berjalan mulus. Gelombang badai yang mengganggu kelancaran Batam, selalu muncul.
Fakta lain, tak mudah juga mendatangkan para investor sebagaimana yang diharapkan.
Apalagi di negara lain juga melakukan kebijakan ekonomi yang sama. Mereka sebagai pesaing Batam juga.
Limpahan investasi dari Singapura, tak seperti yang diharapkan. Juga dari tetang-ga Malaysia. Meski dirajut kerja sama segitiga Singapura, Johor, dan Riau, saat itu.
Dua dekade mantan Menristek itu memimpin di Otorita Batam (OB), yakni tahun 1978 sampai 1998.
Paling tidak tiga kali terjadi resesi ekonomi dunia. Kondisi itu, sangat mengganggu pengembangan Batam.
Kurs rupiah anjlok, dalam tiga gelombang resesi. Dua kali di tahun 90-an. Mempengaruhi arus masuk investasi ke Batam.
Sekelumit cerita gagalnya Asia Port, pelabuhan laut yang direncanakan di daerah laut Kabil.
Entah mengapa, tiba-tiba saja Evergreen, raksasa kontainer berpusat di Taiwan itu, membatalkan niatnya ke Batam. Meski BJ Habibie dengan timnya sudah bekerja keras menggaetnya dan meyakinkannya.
Kini, BJ Habibie seolah berupaya melunasi sebagian mimpi lama itu.
Grup usahanya PT Pollux Property Indonesia Tbk telah menyelesaikan pembangunan empat tower dari sebelas yang direncanakan Mega Superblock Meisterstadt di Batam.
Inilah gedung superblok tertinggi dan termewah sepanjang sejarah kawasan Batam selama 47 Tahun. Untuk setakad ini.
Kita juga men-support agar rencana pengembangan industri pesawat terbang komersil R-80 milik PT Regio Aviasi Industri (RAI) segera terwujud.
Tampaknya, pengembangan industri pesawat terbang ini sudah di depan mata. Untuk kesiapan inilah, maka BJ Habibie beserta rombongan berada di Batam selama tiga hari ke depan, terhitung dari Minggu 28 April 2019.
Apalagi, kabarnya, inden akan kebutuhan pesawat ini sudah berdatangan. Jumlah pesanan yang masuk sudah 115 pesawat.
Dua proyek Habibie, gedung empat tower di superblok di Simpang Franky dan rencana pengembangan industri pesawat terbang ini satu proyek prestisius di Batam. Semoga. (*)
Oleh: Marganas Nainggolan