batampos.co.id – Bom kecil-kecil bertebaran di Bangkok, Thailand sejak Jumat (2/8). Itu bukan kali pertama. Sejak ISIS runtuh, negara-negara Asia Tenggara harus bersiap dirongrong para pemberontak di dalam negeri dan anggota ISIS yang kembali.
Kaca di dekat stasiun Bangkok Mass Transit System (BTS) Chong Nonsi itu masih retak. Belum ada perbaikan Sabtu (3/8/2019).
Kaca itu menjadi saksi serangkaian serangan bom pingpong yang terjadi sehari sebelumnya. Disebut bom pingpong karena ukuran dan daya ledaknya kecil.
Serangan itu mungkin kecil. Tak ada korban jiwa, hanya empat orang luka tak parah. Tapi, momentumnya pas. Yaitu, saat Bangkok menjadi tuan rumah KTT ASEAN. Rasanya seperti tercoreng dua kali. Sebab, pada 2009 KTT ASEAN di Pattaya, Thailand, juga tak berjalan mulus.
Saat itu demonstran kaus merah yang menginginkan pemilu menyerbu lokasi konferensi. Mereka adalah massa yang menentang mantan Perdana Menteri (PM) Thaksin Shinawatra.
Kerusuhan terjadi dan sejumlah pemimpin negara harus diselamatkan dari hotel. Mereka dijemput helikopter militer di atas hotel.
Beruntung, serangan kali ini tidak separah satu dekade lalu. Kepala Polisi Nasional Thailand Chakthip Chaijinda memastikan situasi terkendali. KTT ASEAN tetap berjalan sesuai jadwal. Polisi juga masih memburu para pelakunya.
![](https://batampos.co.id/core/uploads/2019/08/thailand.gif)
foto: Lillian SUWANRUMPHA/AFP
Versi polisi, pelakunya adalah pemberontak di wilayah selatan. Mereka adalah kelompok pemberontak yang juga melakukan serangan di tujuh lokasi pada Agustus 2016. Kelompok itu ingin memperluas operasi serangan. Diyakini bahwa mereka didukung politisi dan kelompok lainnya.
”Meski kelompoknya sama, kali ini mereka menggunakan anggota baru yang tidak punya rekam jejak tindak kriminal untuk menyerang Bangkok,” ujar Chakthip seperti dikutip Bangkok Post.
Polisi memastikan situasi sudah dapat dikontrol. Wakil Kepala Polisi Chaiwat Kateworachai memimpin penyelidikan. Chaiwat juga memimpin investigasi serangan bom di Kuil Erawan pada Agustus 2015.
Berapa orang yang terlibat pengeboman itu belum dike-tahui. Tapi, ditengarai mereka sudah menyisir lokasi jauh hari sebelum memasang bom. Pakar penjinak bom mengungkapkan bahwa yang meledak di Bangkok adalah bom rakitan yang dilengkapi pengatur waktu. Jenisnya memang sama persis dengan yang dipakai pada serangan 2016.
Serangan di Bangkok dan berbagai lokasi lain di Thailand rata-rata dilakukan kelompok pemberontak wilayah selatan. Belum diketahui mereka ditunggangi ISIS atau tidak.
Channel News Asia mengungkapkan bahwa sekitar seribu penduduk Asia Tenggara bergabung dengan kelompok ISIS. Ketika ISIS di Iraq dan Syria bisa dikalahkan, mereka pulang kampung. Para pakar menyebut ancaman teror terbesar saat ini para anggota ISIS yang pulang itu.
”Jika Anda melihat kejatuhan ISIS dan berkata bahwa kita akan memasuki periode waktu yang damai, Anda salah,” ujar analis antiterorisme di International Islamic University Malaysia Ahmad El-Muhammady.
Itu jelas bukan isapan jempol belaka. Marawi, Filipina, buktinya. Kelompok Abu Sayyaf dan Maute yang menyatakan diri setia kepada ISIS berusaha mengambil alih kota tersebut pada 2017. Saat itu kekuasaan ISIS di Syria dan Iraq sudah hampir runtuh. Mereka ingin membuat pmerintahan baru di Marawi sebelum dipukul mundur pasukan Filipina. Dalam peperangan selama lima bulan itu, para pendukung ISIS dari Asia Tenggara berdatangan. Termasuk dari Indonesia dan Malaysia.
Ahmad menegaskan simpatisan ISIS yang pulang itu tidak terdeteksi radar pemerintah dan bisa menyerang kapan saja. Biasanya mereka bergabung dengan kelompok-kelompok lokal. ISIS saat ini hanya mengalami hibernasi. Suatu saat mereka bangkit.
Tahun lalu pemerintah Malaysia menangkap lebih dari 80 militan dan menggagalkan empat rencana serangan. Dalam Laporan Penilaian Ancaman Terorisme Singapura 2019, gelom bang kepulangan mantan kombatan ISIS secara besar-besaran memang belum terlihat saat ini. Tapi, ancaman mereka bisa terus tumbuh. (Siti/c10/dos)