batampos.co.id – Sekarang jadi aktivis, ya? Ananda Badudu menjawab pertanyaan itu dengan senyum saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat. Pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, tersebut mengungkapkan, dirinya lebih nyaman disebut musisi.
’’Predikat itu (aktivis) kayaknya, aku nggak segitunya deh. Tapi, aku ya nggak bisa menolak juga,’’ katanya.
Nanda –begitu dia disapa– menyatakan, beberapa kali datang ke acara, sosoknya dikenalkan sebagai aktivis. Dia tak mau membantahnya karena merasa tak punya hak melarang seseorang memberikan predikat tersebut. Dilihat dari sisi baik, sebutan aktivis merupakan bentuk kepercayaan orang lain untuknya.
’’Geli sih, tapi diterima,’’ ujarnya.
Nanda sebelumnya memang lebih dikenal sebagai musisi. Dia membentuk Banda Neira, band yang beranggota dua orang. Dirinya dan kakak Isyana Sarasvati, Rara Sekar.
’’Lagu-laguku adalah apa yang aku rasakan dan apa yang aku alami. Salah satunya ya berkaitan dengan pengalamanku di jurnalistik, saat masih di Tempo. Aku bukan tipe orang yang pandai berkhayal,’’ ucapnya.
Namun, umur Banda Neira tak panjang. Pada 2016, band tersebut bubar. Bersamaan dengan itu, Nanda mengundurkan diri dari dunia musik.
Pada tahun yang sama, karirnya di Tempo sebagai jurnalis yang dimulai pada 2011 juga diakhirinya. Nanda pindah ke situs berita VICE.
Dia mendapat posisi editor. Pekerjaannya lebih banyak dilakukan di kantor. Tidak lagi sering turun ke lapangan. Ternyata, posisi itu membuatnya bosan.
’’Nggak ada adrenalinnya,’’ ujarnya.
Sejumlah liputan besar pernah dihasilkan cucu pakar bahasa J.S. Badudu itu. Dia pernah membongkar kasus suap hakim agung oleh anggota DPR Misbakhun pada 2012. Selain itu, dia pernah bertugas meliput di KPK.
Tak ada Banda Neira, tak ada pula pekerjaan jurnalistik yang membuat Nanda kehilangan wadah mengekspresikan diri. Namun, dia seolah menemukan tempat baru dengan terlibat dalam aksi massa pada September lalu di DPR.
Aksi para mahasiswa itu menyampaikan tujuh tuntutan. Di antaranya, mendesak penundaan dan pembahasan ulang pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP, mendesak pemerintah dan DPR merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, serta menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Indonesia.
Namun, aksi itu berujung kerusuhan. Nama Nanda tersangkut. Pada 27 September pagi, Nanda dijemput anggota Polda Metro Jaya. Dia diduga terlibat kerusuhan. Tuduhannya, menyuntikkan dana untuk aksi massa pada 23-24 September.
Nanda mengungkapkan, tidak semua aksi ditunggangi. Ada pula aksi massa yang murni menyampaikan aspirasi untuk perubahan yang positif. Dia merasa aksi para mahasiswa itu murni sehingga membuatnya tergerak membantu.
Melalui platform pengumpulan dana kitabisa.com, Nanda menggalang dana. Di awal diakuinya, dirinya sempat khawatir upaya tersebut tak akan mendapat dukungan. Target dana yang terkumpul sempat diubah.
’’Pertama targetnya Rp 50 juta. Lalu, aku pikirnya, apa nggak terlalu tinggi? Aku ganti Rp 30 juta. Dan, ternyata di luar dugaan. Dana yang terkumpul mencapai Rp 175 juta lebih,’’ ungkapnya.
Capaian itu menjadi pengalaman yang luar biasa bagi Nanda. Dia menuturkan, penggalangan dana bagi aksi massa adalah yang kali pertama dilakukan di kitabisa.com. Ternyata, gayung bersambut. Respons masyarakat sungguh tak diduganya.
Nanda menilai, aksi massa tersebut tidak berniat menggulingkan pemerintah, tetapi murni meminta perubahan positif.
’’Ketika masih jadi wartawan, aku bisa ada di sekitar aksi massa. Tapi, aku memang nggak dapat aktif ikut karena harus independen juga sebagai wartawan, kan,’’ paparnya.
Sebelum aksi massa yang memanas hingga dirinya dijemput polisi, Nanda menyatakan, banyak tragedi memilukan di Indonesia yang mengusiknya. Mulai rencana revisi UU KPK hingga konflik SARA di Papua. Hal tersebut menjadi salah satu alasan dirinya ingin terlibat.
Kenangan saat digelandang polisi jelas tak bisa dilupakan. Saat dia terlelap tidur di kontrakannya, aparat kepolisian mengetuk pintu. Banyak pihak yang menghubunginya setelah dirinya dibebaskan. Termasuk mama dan papanya.
Menyebut dua kata itu, tiba-tiba bibirnya mengatup. Tak melanjutkan pembicaraan. Terlihat kedua matanya berkaca-kaca. ’’Dari awal, sebelum ada ramai-ramai aksi, aku sudah cerita ke nyokap. Bahwa aku akan menggalang dana dan lain-lain. Aku bakal men-support aksi demonstrasi di Jakarta. Nyokap bilang, kalau kamu yakin dan benar, maju terus,’’ kenang Nanda.
Pembicaraan tersebut dilakukan melalui telepon. Dia tinggal di Jakarta, sedangkan orang tuanya di Bandung. ’’Pengin nangis. Aku di-support orang tua. Aku mikirnya mereka bakal khawatir atau melarang, ternyata nggak,’’ imbuhnya.
Dukungan orang tua menguatkan Nanda. Meski dampak psikologis dijemput polisi masih dirasakan, hal tersebut tidak membuatnya serta-merta membungkus keberanian.
’’Waspada, iya. Takut, wajar. Tapi, aku tahu persis, aku nggak salah. Aku nggak melanggar UU satu pun. Aku yakin aku nggak salah,’’ tegasnya.
Ada satu pengalaman menarik ketika Nanda balik ke rumah. Salah seorang keponakannya yang berusia 7 tahun bertanya kepadanya. ’’Ponakanku bilang, ’Om Nanda ditangkap polisi, ya? Om Nanda bandel, ya?’ Ngejelasin ke orang dewasa gampang ya. Ini ke anak kecil,’’ ceritanya.
Meski mengaku tak akan berhenti memberikan perhatian pada isu-isu bangsa, saat ini Nanda memilih berfokus pada karir bermusik yang hendak dibangunnya lagi. Sekali lagi, menurut dia, lebih asyik dipanggil musisi ketimbang aktivis.
’’Sekarang aku sibuk untuk solo-solo saja. Materi single sudah siap. Rencananya segera rilis juga,’’ ujarnya. (*/c5/ayi)