batampos.co.id – Marwan Eka Fadillah, Muhammad Rizky Fitriawan, Andika Gustianto Putra, Dale Nugraha, dan Dhimas K. Panji adalah orang di balik keberadaan Groot Watch. Jam tangan itu unik karena bodinya terbuat dari tulang belulang. Mayoritas tulang sapi meski kadang ada tulang kerbau. Selain itu, ada tanduk kerbau atau domba.
”Awal-awal kami dapat tulang gratisan semua,” ujar Andika saat ditemui Kamis (19/12/2019) lalu.
Andika mengingat, usaha tersebut dimulai lima tahun silam. Mulanya mereka mendapatkan limbah tulang secara cuma-cuma. Setelah datang beberapa kali, baru tulang-tulang itu dihargai. Meski ya tetap tergolong murah. Setiap karung hanya Rp 25 ribu. Di samping berulang datang, pedagang akhirnya mematok harga karena yang dicari hanya tulang betis.
”Yang masih utuh. Itu bagian paling keras,” kata Andika. ”Ini contohnya,” sambung Marwan sambil menunjukkan sampel di tempat tinggalnya di bilangan Regol, Bandung.
Di rumah Marwan itu pula berdiri workshop. Di ruangan seluas 10 meter persegi tersebut tampak aneka alat. Mulai gergaji besi, gerinda, pisau, sampai papan garis. Di ruangan itu pula bertumpuk karung tulang sapi. Workshop tersebut menjadi tempat mereka mendesain.
Ide memproduksi jam tangan tulang maupun tanduk berawal dari hobi Marwan mengoleksi jam tangan unik. ”Bukan yang bermerek sebenarnya. Lebih ke jam tangan tak biasa. Misalnya jam tangan kayu atau yang penunjuk waktunya aneh,” ucap alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Tertarik membuatnya, Marwan melakukan riset kurang lebih satu tahun bersama empat temannya. Di tengah perjalanan, muncul wacana membuat jam tangan dari tulang. Marwan yang memang sering datang ke acara almamater bertemu perajin tulang di salah satu pameran ITB. Mereka mengobrol hingga Marwan punya ide membuat jam dari tulang saja.
”Kalau saya buat jam tangan kayu yang sama (dengan koleksinya, red), susah bersaing. Saya minim modal dan relasi,” ungkap dia.
Maka, tulang yang selama ini diketahui bisa untuk aksesori sederhana dicoba jadi jam tangan. Merek Groot Watch yang dipilih bukan sekadar nama. ”Groot itu global root,” ucap Marwan.
Maknanya, mereka berniat membawa konten lokal ke ruang yang lebih luas. Setiap produk dilabeli nama-nama lokal. Ada Baduy, Dayak, Asmat, Madura, sampai Gantya. Sebelum jadi produk, Dayak yang paling awal dibuat melalui fase uji coba. Ukurannya lebih kecil dari bentuk final.
”Ini dari awal sudah empat tahun masih kuat,” kata Marwan seraya mengeluarkan dua jam tangan dari kotak kayu.
Dua jam tersebut sama-sama produk pertama Groot Watch. Tidak dijual. Sebab, yang dijual hanya buatan perajin tulang rekanan. Dari sedikit perajin tulang di Bandung, hanya satu yang saat ini bersedia bekerja untuk Groot Watch. Namanya Mamad. Usianya sudah 70 tahun. Tergolong sepuh untuk perajin yang bekerja bersama pemuda seumur Marwan dan rekan-rekannya. Itu pula yang membuat mereka resah. Sebab, tidak ada yang mau jadi penerus para perajin tersebut.
”Anak-anaknya lebih memilih kerja jadi buruh,” ujar Marwan.
Mamad merangkai satu per satu tulang yang sudah dibentuk menjadi komponen jam tangan. Tidak memakai perkakas khusus, dia memilih alat sederhana. Pernah suatu kali, Marwan dkk membawakan gerinda otomatis. Namun, perajin yang tinggal di daerah Ciwastra, Bandung, itu menolak. Alat-alat otomatis tersebut kini lebih sering digunakan pendiri Groot Watch untuk penyempurnaan produk.
Pembuatan jam dimulai dari pembersihan tulang, pembentukan komponen, perakitan, pengasapan, dan pemasangan mesin. Semua tulang digunakan tanpa bahan kimia maupun pengawet. Warna dan corak yang berbeda-beda muncul saat tulang atau tanduk diasapi.
”Warna alami, bukan cat. Kalau cat di tulang pasti luntur,” ungkap Andika.
Meski tanpa bahan pengawet, Marwan menjamin jam yang mereka buat tahan lama. Selain itu, sama sekali tidak berbau daging. Untuk saat ini semua jam tangan berupa analog. Mereka belum bisa membuat jam tangan digital karena mesin yang dipakai juga mesin analog.
Khusus mesin, mereka mengimpor. Memakai Miyota, mesin jam dari Jepang yang juga dipakai merek-merek terkenal lain seperti Alexandre Christie. Sebagai variasi jenis, saat ini Groot Watch tengah berkolaborasi dengan merek lokal Bandung lainnya untuk membuat jam tangan analog otomatis. Sehingga tidak perlu lagi baterai dan tahan seumur hidup.
Sepengetahuan Marwan, pembuat jam dari tulang ini langka. Karena itulah, dia berminat membangun workshop baru tempat orang belajar produksi jam tangan tulang dan tanduk. Mamad akan diminta mengajari para perajin muda yang berminat. Di tempat tersebut nanti konsumen juga bisa melihat langsung pembuatan jam tangan yang mereka kenakan.
Mereka ingin memberikan inspirasi kepada perajin lainnya bahwa ada peluang untuk membuat produk keren dari limbah tulang. Itu memang tujuan utama selain menjalankan hobi membuat desain. Disebut hobi karena Groot Watch memang belum menjadi mata pencaharian utama mereka. Masing-masing punya pekerjaan lain.
Empat tahun setelah produk pertama dijual, jumlah jam tangan yang dihasilkan Groot Watch masih sangat sedikit. Hanya sekitar 400 unit. Dari pemesanan sampai jadi, bisa dibutuhkan waktu tiga sampai tujuh hari. Sangat terbatas dan langka. Tidak heran jika konsumen mereka saat ini lebih banyak kolektor. Harga per item dipatok Rp 850 ribu hingga Rp 1,9 juta. (*/c9/ayi)