Senin, 2 Desember 2024

Menjaga Natuna, Menjaga Indonesia

Berita Terkait

CUACA di Laut Natuna, tepatnya di titik koordinat 4 derajat lintang utara (LU) dan 109 derajat bujur timur (BT), sebenarnya tak jelek-jelek amat. Namun, M. Daud memutuskan pulang lebih ”pagi” hari itu.

Tekong (nakhoda) kapal motor (KM) Pesona Mandiri tersebut pun meminta delapan anak buah kapal (ABK) berkemas lebih cepat. ”Hari ini kita nggak bisa kerja,” seru Daud kepada para ABK.

Keputusan itu dia ambil berdasar apa yang dia lihat di sana: ada puluhan kapal berbendera Vietnam. Mereka ”menguasai” perairan yang sejatinya menjadi ”ladang” ikan para nelayan Natuna tersebut.

Dalam perjalanan pulang, Daud sesekali mendongak ke arah monitor sistem posisi global (global positioning system/GPS) yang terpacak di kompartemen atas setir perahu. Jelas terpampang di sana, kapal-kapal itu menangkap ikan di wilayah Indonesia.

Gagang telepon radio single-sideband modulation (SSB) pun dia angkat untuk meng-update aktivitas kapal-kapal Vietnam tersebut. Suaranya cepat menyebar ke radio lain yang memiliki frekuensi sama. Total ada lebih dari sepuluh KIA yang berekspansi di Laut Natuna pada Rabu (8/1) siang menjelang sore itu. Kapal-kapal tersebut berukuran besar. Jauh lebih besar daripada KM yang diawaki Daud.

KIA itu juga dilengkapi beragam peralatan canggih: telepon satelit, radar angin, radar ikan, GPS, dan sebagainya. Kecepatan kapal mereka pun di atas rata-rata KM Indonesia.

Sembari terus mengendalikan kemudi, Daud sekilas teringat pengalaman apes setiap kali bertemu kapal-kapal ikan asing. Yang paling membuatnya kesal adalah saat semua pancing rawai berkail mustad lengkap dengan bendera apung yang ditebar ABK lenyap karena terjerat jaring trawl (pukat) ganda KIA. Kejadian yang membuatnya rugi besar itu berlangsung beberapa tahun lalu.

Pukat ganda memang ancaman bagi semua nelayan Natuna. Pasalnya, alat tangkap yang umumnya selebar tiga kali ukuran lapangan sepak bola dan telah dilarang pemerintah sejak lama itu dapat dengan mudah mengeruk semua ikan di perairan. Baik ikan timbul (permukaan) semacam tenggiri dan tongkol hingga ikan dasar seperti kakap merah, jahan, kurisi bali, dan kerapu.

Dalam batinnya, pengalaman pahit itu tak boleh terulang. Untuk sementara, pulang lebih baik ketimbang harus kehilangan rawai. Harus diakui, rawai lebih krusial baginya. Juga bagi delapan ABK yang ikut dalam rombongan penangkap ikan di pengujung Desember lalu itu.

”Tidak apa kita setengah hari saja kerja,” serunya kepada para ABK.

Mendengarkan seruan sang bos, Sam, Boncil, Jon, Bacok, Iwan, Nur, Arifin, dan Buyung pun merapikan pekerjaan masing-masing. Ada yang mengecek ikan tangkapan di bagian lambung kapal. Sisanya gotong royong menggulung tali rawai dan memastikan alat tangkap itu bisa digunakan kembali.

Gara-gara kapal Vietnam, tangkapan hari itu tidak melimpah seperti biasanya. Daud dan timnya hanya dapat membawa 2 ton ikan. Padahal, saat situasi normal, mereka bisa membawa 3 hingga 4 ton sekali ”nyangkul” di tengah laut. Tangkapan tersebut dibongkar di Selat Lampa untuk kemudian dijual ke Tanjung Balai Karimun, ibu kota Kepulauan Riau.

Perairan dekat Pulau Tiga barat, Nautna, Jumat (10/1). (IMAM HUSEIN/JAWA POS)

”Kalau ada kapal Vietnam, kami nggak bakalan bisa kerja,” ucap Daud kepada Jawa Pos di pangkalan kapal nelayan di Tanjung Kumbik Utara, Pulau Tiga Barat, Rabu lalu. Cerita tentang merajalelanya KIA itu juga disampaikan kepada ”komandan” Dedek, penanggung jawab pangkalan kapal ikan rawai tersebut.

”Tim Guard” Swasta

Dari laporan para tekong itulah, peran ”komandan” Dedek terbilang sentral bagi petugas pengawas laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI. Dari Dedek, informasi soal KIA yang membabi buta menangkap ikan secara ilegal (illegal, unreported and unregulated fishing/IUUF) di perairan Natuna dengan cepat sampai ke otoritas keamanan laut.

Menjelang akhir tahun lalu publik sempat digegerkan video viral aktivitas kapal asing di perairan Natuna yang berujung pada mencuatnya isu kedaulatan Indonesia di kabupaten yang wilayahnya kepulauan tersebut. Nah, ketegangan itu berawal dari laporan para nelayan yang terganggu dengan penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal asing. Salah satunya dari Vietnam.

”Komandan” Dedek-lah yang kali pertama mengunggah video pelanggaran itu di media sosial miliknya pada 23 Desember lalu. Kemudian ditanggapi beragam oleh banyak pihak. Tidak terkecuali Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

”Sebenarnya sudah saya laporkan ke KKP dari tanggal 17 dan 18 Desember, tapi belum ada tindakan di laut,” ujarnya.

Cerita kapal asing dalam video yang menyebar itu tidak jauh berbeda dengan yang diceritakan Daud dkk. Video tersebut menggambarkan sekumpulan KIA yang identik dengan kapal Vietnam sedang menangkap ikan di wilayah perairan Natuna secara bebas.

Merujuk aturan, penangkapan itu jelas ilegal dan pelakunya bisa ditangkap. Bahkan, kapalnya sah-sah saja ditenggelamkan seperti di era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. ”Waktu itu (laporan di tanggal 17 dan 18 Desember, Red) alasan dari KKP dananya habis karena akhir tahun,” bebernya.

Selain ke KKP, Dedek melaporkan aktivitas KIA itu kepada TNI Angkatan Laut (AL) dan polisi perairan yang bermarkas di kawasan Natuna.

”Kalau dari TNI-AL, ditindaklanjuti operasi kapal,” ujar pria 31 tahun tersebut.

Karena video telanjur menyebar dan banyak diperbincangkan orang, KKP yang seolah kecolongan lantas menggunakan kapal pengawas perikanan menindak tegas KIA di Natuna. Hasilnya, pada 30 Desember lalu, tiga kapal Vietnam berukuran besar ditangkap di perairan Natuna secara dramatis. Yaitu kapal KG 95118 TS ukuran 125 GT, KG 94629 TS berkapasitas 98 GT, dan KG 93255 TS (98 GT).

Sejatinya laporan Dedek ke otoritas kelautan dan perikanan bukan kali itu saja dilakukan. Semenjak menjadi penanggung jawab pangkalan kapal rawai di Tanjung Kumbik Utara tiga tahun lalu, Dedek rutin melaporkan setiap kegiatan KIA pencuri ikan di perairan yang terkenal kaya sumber daya laut tersebut. ”Di era Bu Menteri Susi kami sudah melakukan hal yang sama,” ungkapnya.

Saat ini ada 53 kapal ikan dari Tanjung Balai Karimun yang menjadi bagian ”tim guard” swasta di bawah arahan Dedek. Setiap kapal dilengkapi GPS, radio komunikasi, dan telepon satelit. Dengan peralatan itu mereka bisa kapan saja melaporkan KIA pencuri ikan kepada Dedek dari jarak puluhan mil di tengah laut Natuna.

Kapal-kapal berkonstruksi kayu itu biasanya teken kontrak 3–4 bulan dengan pemodal. Selama kontrak itu, mereka bisa menghabiskan Rp 400 juta untuk operasi. Puluhan kapal yang selalu mangkal di depan rumah Dedek setelah melaut tersebut bergantian ”nyangkul” di zona terluar perairan Indonesia yang sejak lama diincar KIA berbagai negara itu. Misalnya Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Tiongkok.

Menjaga Natuna, Menjaga Indonesia

Pengawasan KIA sejatinya bukan tugas utama Daud dkk atau Dedek dan timnya. Mereka tidak digaji untuk melakukan itu. Negara memiliki infrastruktur lebih lengkap ketimbang KM Pesona Mandiri atau kapal-kapal ikan lain ukuran kecil yang notabene hanya mampu menangkap ikan.

Di Selat Lampa kerap mangkal kapal pengawas perikanan milik KKP di bawah naungan Satuan Pengawas (Satwas) Sumber Daya Kelautan Perikanan (SDKP). Beberapa hari terakhir ini juga ada Kapal Perang RI (KRI) Usman-Harun 359 dan KRI Karel Satsuit Tubun 356 di selat tersebut.

Meski begitu, Dedek dan timnya hingga kini tetap rutin melaporkan semua hal yang berkaitan dengan pelanggaran penangkapan ikan di Natuna. Laporan tersebut berisi lokasi titik koordinat dan jumlah KIA yang menebar pukat di perairan Natuna. ”Kami hanya relawan biasa. Saya senang kalau nelayan di Natuna bisa kerja di laut tanpa diganggu trawl (pukat) itu,” kata Dedek.

Begitu pula Aswadi dan Papang, dua anggota tim guard swasta Dedek yang paling setia. Sebagai anggota tim ”militan”, Aswadi dan Papang selalu siap kapan saja membantu dan menjalankan perintah komandan demi menjaga Natuna dan Indonesia dari ”jajahan” kapal asing. ”Pokoknya, apa kata ’komandan’ Dedek saja,” kata Papang, lantas tertawa.

Para tekong juga demikian. Kedaulatan Indonesia bagi mereka tidak bisa ditawar. Mereka pun berharap aktivitas KIA di perairan Natuna ditindak tegas seperti di era Menteri Susi. Penindakan KIA sangat menentukan keselamatan dan kenyamanan kerja mereka. Semakin banyak KIA ditindak, semakin melimpah pula ikan tangkapan di ”surga” laut Natuna.

Terlepas dari semua itu, ada rahasia penting yang selalu dijaga Dedek dan timnya, yaitu racikan akar kayu. ”Jamu” seduh berisi campuran berbagai akar kayu dan daun limau itu resep turun-temurun yang diyakini masyarakat Tanjung Kumbik Utara sebagai minuman penghangat tubuh di tengah cuaca Natuna yang tak menentu. ”Racikan ini (akar kayu) ampuh sangat,” kata Dedek, lantas tersenyum sambil menunjukkan sebungkus racikan akar kayu siap seduh. (JPG)

Update