INI hari ke-4 saya benar-benar mengunci diri di dalam rumah. Sama sekali tidak keluar. Ke warung kopi pun tidak. Biasanya, setiap ada undangan di WA grup, saya pasti meluncur atau saya yang ngajak.
Padahal, pemerintah sebelumnya sudah menyuruh di rumah saja, kecuali ada keperluan mendesak. Ngopi bareng sambil bicara masalah pekerjaan atau organisasi masuk kategori mendesak atau tidak, saya tidak tahu.
Ya, Kamis malam sebelum saya men-lockdown diri sendiri, saya merasakan ada yang aneh. Kepala terasa berat, perut agak kembung. Otot punggung dan tengkuk agak pegal. Atas saran seorang kawan, saya diminta minum air kelapa muda dengan suiran bawang putih. Setelahnya, saya mencoba tidur. Masih terasa berat. Hmm, mungkin kalau tidur besoknya sudah baikan. Begitu pikiran saya.
Jumat pagi, dugaan saya meleset. Badan makin lemes, kepala berat, otot kaku, dan perut makin kembung. Kali ini mirip keram. Saya telpon istri yang masih bekerja, meskipun kantornya menerapkan WFH, namun karena dia tak termasuk kelompok usia 51 tahun ke atas, diminta tetap ngantor. Saya minta dia izin dan menemani ke dokter Stephen Tan di Baloi.
Sampai di praktik dokter, kebetulan belum ada antrean karena masih pagi.
“Hai Pak. Ada keluhan apa?”
Dokter Stephen yang sudah menjadi langganan saya sejak tinggal di Batam itu mempersilakan saya duduk.
“Ini, Dok. Mungkin cacar,” kata saya mengira-ngira sambil memperlihatkan satu bintilan kecil di bawah dada kiri.
Dokter menghampiri saya dan menyingkap oblong yang saya pakai.
“Iya, ini cacar,” katanya.
Saya agak terdiam. Mencoba mengingat apakah saya sudah pernah kena cacar sebelumnya. Sebab, kata orang, cacar tidak akan terjadi lebih dari satu kali terhadap orang yang sama. Tapi ada juga teman istri yang kena cacar lagi saat sudah dewasa. Ah, saya benar-benar lupa. Mau nelpon Ayah, pastilah Beliau lebih lupa. Biasanya almarhumah Ibu yang paling ingat catatan riwayat anak-anaknya.
Pulang dari dokter, saya langsung bertekad, sepertinya ini moment paling tepat buat saya menjalankan anjuran pemeritah secara “kaffah”, hehe, yakni di rumah saja, bekerja dari rumah. Ternyata, air kelapa yang saya minum malam sebelumnya, membuat beberapa bintilan bermunculan di area tubuh saya. Makanya si dokter tadi langsung yakin bahwa itu cacar air.
Menurut info kesehatan, penyebab utama penyakit cacar air adalah virus varicella zoster. Ini ditandai dengan munculnya ruam pada kulit sebagai gejala utamanya. Ruam tersebut berubah menjadi bintil merah berisi cairan yang terasa gatal yang kemudian akan mengering, menjadi koreng, dan terkelupas dalam waktu 7 hingga 14 hari. Umumnya, bintil cacar air akan tumbuh pada wajah, kulit kepala, dada, belakang telinga, perut, lengan dan juga kaki.
Persis. Itulah yang terjadi pada diri saya saat ini. Bahkan bintilan yang saya rasakan muncul merata di leher, dada, hingga perut, lalu punggung. Di wajah, sama saja. Rata! Rasanya, perih dan gatal! Sekujur tubuh, kepala, dan wajah, pingin digaruk. Ditahan saja. Di hari kedua berkurung, Sabtu, saya muntah banyak sekali. Istri dan anak pertama saya yang membersihkan ranjang dan mengepel lantainya. Sementara saya sempoyongan.
Ada obat yang harus dimakan sekaligus dua setiap 4 jam. Yang lainnya, normal 1 kali setiap habis makan. Ada bedak yang harus dilumuri di mana tumbuhnya bintil kecil itu. Pantangan, telur dan kacang-kacangan. Jika melanggar, maka bintil kecil berisi air dan gatal itu akan semakin gatal.
Di hari ke-4 ini, saya mulai mencoba mengambil pelajaran dari sakit yang saya alami. Pertama, jaga selalu kesehatan karena kita tak tahu virus itu ada di mana dan ditularkan oleh siapa. Tapi yang ini, istri dan kedua anak saya sudah mengalaminya. Mungkin mereka menulari saya?!
Kedua, apapun kondisinya, yang namanya karantina atau isolasi mandiri itu sungguh tak nyaman. Tak bebas. Tapi itu wajib dilakukan untuk mencapai tahap sehat. Ketiga, bayangkan jika suatu saat Anda atau siapapun terpapar corvid-19 dan harus diisolasi di ruang khusus, dengan treatment khusus, belum tentu Anda sanggup menjalaninya. Anda mungkin akan depresi. Sebab, kehidupan Anda akan berbeda ketika mengikuti treatment dengan kehidupan biasa. Saat-seperti itulah akan terjadi hubungan yang tidak lazim antara anda sebagai pasien dengan tenaga medis yang berada di bawah ancaman virus mematikan itu.
Anda yang lain, yang belum mengalaminya, biasanya cuma bisa komentar atau cerita-cerita versi sebelah sambil mencari kelemahan RS dan tenaga medisnya. Padahal paramedis itu juga menyayangi nyawa mereka. Anda puas? *