SENIN malam (11/01/2021), tak sengaja, saya bertemu M Ichsan, Ketua Harian IKSB Kota Batam dan sahabatnya Hendri Rahman. Sebetulnya, agenda saya malam itu adalah ngopi bareng Ketua Garda Pemuda Nasdem Kepri, Alib Murniman. Ada juga sahabat saya dari Natuna, Harken, yang sedang mengurus suatu urusan di Batam.
Kami bertemu di sebuah gerai makanan khas India di Nagoya, Batam. Hujan rintik-rintik membuat udara sedikit sejuk. Sejak awal Januari, Batam dan Kepri memang langganan hujan. Di Tanjungpinang dan Bintan saya baca di media, ada banjir di beberapa tempat. Juga Natuna dan Anambas, longsor dan air pasang terjadi di sana.
Di Batam pun beberapa rumah diterpa banjir dan angin puting beliung. Beberapa kepala keluarga terpaksa mengungsi. Untungnya, masih untung dibanding beberapa kota di Jawa, karena Batam dikelilingi laut, begitu juga Tanjungpinang dan Bintan, atau seluruh kota/kabupaten di Kepri, sehingga genangan air lebih cepat surut ke laut.
Malam itu, saya mengenakan sweater warna hitam. Begitu juga Alib, mantan wartawan Posmetro Batam. Ichsan tampil dengan baju denim warna biru tosca, membuat penampilannya makin lawa. Harken pun tampil casual dengan kemeja lengan panjang.
Diskusi yang tak direncanakan di antara para anak muda Kepri, malam itu, mengalir ke berbagai topik. Dari soal politik, pembangunan, hingga soal ekonomi. Ichsan sempat menyinggung tentang dukungan pribadinya ke paslon gubernur dan wakil gubernur Insani (Isdianto-Suryani). Video yang dia buat sebelum pencoblosan, 9 Desember 2020, banyak menuai kontroversi.
“Video itu saya buat secara sadar dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Saya sudah jelaskan ke berbagai pihak bahwa pilihan dukungan saya jatuh ke HM Rudi – Amsakar di Batam dan Insani di provinsi. Ini sikap saya pribadi. Saya tak bisa membawa gerbong IKSB, sebab di IKSB, teman-teman tersebar ke berbagai paslon,” kisahnya.
Ke depan, Ichsan mengaku akan melihat peluang di pilkada 2024. Menurutnya, akan sangat tergantung situasi nanti. Secara tegas, dia menyebutkan lebih tertarik terjun ke kontestasi eksekutif dibanding legislatif.
“Saya bukan tipe orang being happy stay in the office. Saya orang lapangan. Eksekutif lebih memungkinkan saya untuk turun jika saya kelak jadi maju,” begitu alasan Ichsan, yang mengaku sudah menjejakkan kaki di lebih 30 negara itu, menanggapi pertanyaan mengapa dia akan lebih memilih jalur eksekutif nantinya.
“Saya fair saja. Jika nanti memutuskan maju, tidak seperti kemarin, karena almarhum ibu saya tidak merestui saat itu, maka nanti saya akan benar-benar mempertimbangkan. Ketua Candra juga sejak dulu saya dukung, karena saya berpendapat, saatnya anak-anak muda yang punya visi terjun ke politik,” akunya. Saya tersenyum.
Pembicaraan kami kemudian melebar ke soal-soal strategi pembangunan daerah. Bagi saya, berdiskusi dengan Ichsan sangat menyenangkan. Pandangannya yang jauh soal ekonomi dan bisnis seperti nyambung dengan latar belakang ilmu yang pernah saya dapatkan di Fakultas Ekonomi dulu.
Kepri Daerah Istimewa
Dari sekian banyak tema diskusi malam itu, kami memiliki kesamaan pandangan soal arah Kepri ke depan. Bahwa Kepri ini adalah sebuah daerah nan istimewa yang harus dikelola secara istimewa juga. Tidak bisa secara biasa, secara business as usual. Posisi geografis Provinsi Kepri dan beberapa kota/kabupaten seperti Batam, Natuna, Anambas, memang tak dimiliki provinsi lain di Indonesia. Kepri begitu komplit. Kepri juga memerlukan pemikiran besar, anak-anak muda yang related dengan peluang dan tantangan zaman now. Dunia sudah banyak berubah, masa kita enggak?
Di Utara, ada Natuna dan Anambas dengan potensi laut dan pariwisata yang sangat luar biasa. Natuna bahkan menghala ke banyak negara. Jika dilihat di atas peta, Natuna dikelilingin oleh Malaysia, Singapura, China, Vietnam, Kamboja, Filipina, dan Thailand. Natuna begitu terbuka karena berada di atas Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan. Potensi sumber daya alamnya juga mengandung potensi konflik antar-negara. China yang sudah membangun pangkalan udara di sekitar Kepulauan Spratly kerap membuat panas kawasan ini. Hubungannya dengan Amerika makin dinamis.
Oleh karenanya, saya kembali mengingat pernyataan Gubernur Kepri Isdianto yang mengaku mendukung Natuna dan Anambas bergabung ke bawah sebuah provinsi khusus. Secara potensi SDA, ancaman, geografis, hankam, dan geopolitik, wilayah Natuna dan Anambas seyogyanya akan lebih efektif jika dikelola di bawah administrasi provinsi khusus. Terlalu jauh rentang kendalinya dari Provinsi Kepri. Level ancaman dan SDA-nya pun memungkinkan untuk itu.
Mengapa bukan provinsi normal? Sebab syarat untuk jadi provinsi normal, seperti diatur oleh UU Otonomi Daerah, masih banyak yang belum terpenuhi. Ada syarat PAD, jumlah kabupaten/kota, dan syarat dukungan eksekutif dan legislatif induk. Belum lagi syarat yang harus dilengkapi di Jakarta, harus mendapat persetujuan DPR RI dalam bentuk pembahasan RUU-nya. Beda dengan provinsi khusus, yang tergantung keputusan politis Presiden RI dan pimpinan DPR RI saja.
Kembali ke laptop. Kepri memang istimewa. Ada beberapa kabupaten/kota yang mestinya dikelola dan jadikan sesuai comparative advantage masing-masing daerah. Batam, Bintan, Natuna, dan Anambas, sudah memiliki keuntungan komparatif tersebut. Tinggal keseriusan dan terobosan masing-masing kepala daerah untuk mewujudkannya. Tentu, harus didukung oleh regulasi yang bersifat supporting dari Pemerintah Pusat.
Dalam berbagai kesempatan dan tulisan, saya selalu mengatakan bahwa Batam, Bintan, Natuna, dan Anambas, mestinya lebih dari yang ada saat ini pencapaiannya. Sudah ada perkembangan, iya, khususnya di Batam. Namun, dengan berbagai potensi, letak geografis, dan keunggulan sumber daya manusianya, Batam dan beberapa daerah lain di Kepri harusnya capaiannya lebih dari sekarang.
Memang, diskusinya akan lebih panjang, tapi paling tidak mari sama-sama kita lihat lagi ke dalam: apa yang belum maksimal dan solusi apa yang harus segera diambil. Mari lebih banyak berdiskusi. Apa hambatan-hambatan yang masih terjadi, diinventarisir, lalu diajukan dan dibicarakan dengan Pemerintah Pusat, dengan melepas semua ego. Jika tidak, maka percepatan yang diinginkan, hanya akan jadi angan-angan. Nanti beda rezim, ganti pula kebijakan. Pusat-daerah sering tak sinkron. Ini pula salah satu masalah “laten” dalam pembangunan berkelanjutan.(*)