Rabu, 24 April 2024

Kisah Khairani, Yatim Piatu yang Terancam Tak Bisa Ikut UN: Dibiayai Nenek Berusia 80 Tahun dari Jasa Pijat

Berita Terkait

Siti Aisyah bersama cucunya Khairani di kontrakannya Sagulung Lama blok d nomor 19, Sagulung, Jumat (1/4/2016). Foto: Dalil Harahap/Batam Pos
Siti Aisyah bersama cucunya Khairani di kontrakannya Sagulung Lama blok d nomor 19, Sagulung, Jumat (1/4/2016). Foto: Dalil Harahap/Batam Pos

Ayahnya meninggal saat dia masih dalam kandungan. Sang ibu menyusul suaminya saat buah hartinya masih berusia 8 tahun.  Khairani akhirnya dibesarkan neneknya, Siti Aisyah, yang sudah rentah. Sang nenek berjuang mencari nafkah untuk menyekolahkan sang cucu dari hasil pijak. Namun hasilnya, hanya cukup bayar kontrakan. Makan seadanya, dan sang cucu selalu menunggak SPP.

Suasana di Kaveling Lama, Blok D nomor 17 Sagulung, terlihat lengang, begitupun dengan suasana rumah kontrakan bercat putih yang ditempati oleh Khairani, 18, dan sang nenek, Siti Aisyah, 80.

Rumah kontrakan itu hanya punya falisitas satu kamar tidur, satu kamar mandi dalam, ruang tamu dan dapur. Kasur lusuh terhampar di ruang tamu. Televisi model tabung bertengger di rak besi yang sudah berkarat di ruang tamu.

”Silakan masuk, ayo duduk,” suara dari dalam memanggil wartawan koran ini. ”Maaf, agak sempit (ruangannya),” sambung perempuan tua yang masih terdengar tegas.

Perempuan tua itu adalah nenek dari Khairani. Pelajar kelas tiga SMK Muhammadiyah yang sebelumnya dikabarkan tidak bisa mengikuti Ujian Nasional (UN) karena menunggak bayaran SPP.

Rani—panggilan akrab Khairani—anak pasangan Afimah dan Indra. Ibunya berasal dari Banten, sedangkan bapaknya dari Kota Padang. Rani lahir di Kota Medan, Sumatera Utara, pada 11 Mei 1997. Dia hijrah ke Batam tahun 2002 bersama ibu dan neneknya. ”Dua tahun di Batam saya masuk SD,” ungkap Rani.

Karena kondisi keuangan yang tidak stabil, tempat tinggal mereka sering berpindah-pindah. Dari satu kontrakan ke kontrakan lain.

”Mamak gak kerja, jadi nenek kasih makan dari hasil pijat,” tutur Rani. ”Tinggal di sini (Kaveling Lama, Red) sejak SMK kelas 1,” sambungnya.

Inilah rumah kontrakan Khairani di Sagulung Lama blok d nomor 19, Sagulung. Foto: Dalil Harahap/Batam Pos
Inilah rumah kontrakan Khairani di Sagulung Lama blok d nomor 19, Sagulung. Foto: Dalil Harahap/Batam Pos

Perbincangan kami berlangsung santai. Selain koran Batam Pos (grup batampos.co.id), juga ada dua tamu. Kedua laki-laki tersebut adalah Ade Koto dan Anas yang merupakan anggota komunitas sosial online di Batam.

”Kedatangan kami, tak lain karena mendengar kabar dari Rani yang tak bisa ikut UN,” ujar Ade, Sabtu (2/4/2016).

Kabar tentang ancaman kepada Rani tidak bisa ikut UN yang akan diselenggarakan Senin (4/2/2016) besok, membuat pria berkecamata ini langsung mendatangi sekolah dan bertatap muka dengan pihak SMK Muhammadiyah. Di hadapan kepala sekolah, ia menanyakan perihal Khairani.

”Pas lihat postingan di sosmed, saya langsung datang ke sekolahnya,” kata Ade.

Dari Kepala Sekolah, Ade mendapatkan keterangan bahwa siswa yang bersangkutan memang mempunyai tunggakan SPP sebanyak Rp 4,8 juta. Namun, untuk masalah menolak Rani untuk ikut UN, katanya hal itu tidak benar.

Pihak sekolah mengatakan tunggakan tersebut akan dilunasi pihak Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya Batam (MRB) yang merupakan donatur Khairani.

“Menolak ikut (UN) itu tidak, tapi pihak sekolah hanya mengimbau untuk segera melunasi tunggakan tersebut,” jelasnya.

Setelah mendengar dan bertemu dengan pihak sekolah atas kabar tersebut, ia dan Anas melangkahkan kakinya ke kediaman Khairani.

”Kami ke sini untuk mengecek langsung, apakah Rani ini memang layak dibantu atau tidak, dan setelah mendengar ceritanya ya kami siap membantu,” ungkapnya.

Ade mengatakan, jika dana yang dikumpulkan oleh donatur nantinya melebihi target, ia berharap uang tersebut bisa digunakan Aisyah untuk mengelola usaha.

”Kalau uangnya banyak, nenek bisa buat usaha warung, biar gak mijit lagi,” sarannya yang diamini langsung oleh Aisyah.

Sementara itu, Anas yang langsung memposting berita mengenai Khairani mengaku banyak warga yang antusias membantunya. Satu per satu pengguna sosmed pun meneleponnya.

”Baru-baru tadi juga ada seorang polisi yang mau transfer uang, tapi saya bilang tahan dulu, karena saya gak berani simpan uang orang,” ucap pengajar di sekolah Gici ini.

Akhirnya ia pun menyarankan kepada Siti Aisyah untuk secepatnya membuat rekening untuk memudahkan para donatur mentrasfer bantuan tersebut.

”Saya bilang hari Senin setelah ujian pergi ke bank, secepatnya rekening dibuat,” katanya.

Selain pengguna sosmed, perusahaan MC Dermott juga antusias membantu Khairani, dengan memberikan uang sebanyak Rp 2 juta yang diterima langsung oleh Siti Aisyah dan Khairani.

”Pas baca koran dan online, mereka langsung datang dan menyerahkan uangnya,” ujar sang nenek, Siti Aisyah.

Khairani saat mengadu ke komisi IV DPRD Batam, Batamcentre, Jumat (1/4/2016). Foto: Dalil Harahap/Batam Pos
Khairani saat mengadu ke komisi IV DPRD Batam, Batamcentre, Jumat (1/4/2016). Foto: Dalil Harahap/Batam Pos

Aisyah mengaku bersyukur dan terharu, ternyata banyak warga yang bersimpati dengan keadaan serta keterbatasannya.

”Syukur Alhamdulillah, Allah ngasih kemudahan buat saya dan Rani,” katanya terisak.

Diakuinya, penghasilan dari pekerjaannya sebagai tukang pijat dan urut memang tidak seberapa, per bulannya nenek berkacamata ini hanya mampu mendapatkan uang di bawah satu juta.

”Belum lagi saya harus bayar kontrakan Rp 700 per bulan, saya pun harus mencukup-cukupkan penghasilan saya,” sebutnya.

Apalagi untuk urusan biaya sekolah cucunya, ia hanya bisa meminta bantuan kepada pihak LAZ MRB sebagai donatur Rani. Selain itu ia kerap mendatangi sekolah tempat Rani mengenyam pendidikan untuk meminta keringanan biaya.

”Setiap ujian semester saya pasti ke sekolah minta keringanan,” ungkapnya.

Rani ditinggal mati oleh kedua orang tuanya sejak usianya 8 tahun, membuat Aisyah harus benar-benar mengurus tenaga.

”Ayahnya meninggal saat Rani belum lahir, sedangkan ibunya meninggal saat Rani usia 8 tahun karena penyakit pernapasan yang dideritanya,” tuturnya.

Apalagi untuk masalah pendidikannya, ia rela meninggalkan rasa malunya untuk mengharap rasa iba dan bantuan dari pihak lain.

”Kadang saya malu minta seperti ini, tapi mau gimana lagi, keadaan dan keterbatasanlah yang membuat saya seperti ini,” ungkapnya.

Aisyah mengaku trauma dengan kejadian seperti ini, tidak hanya kali ini, dari dulu ketika SMP, Rani kerap mendapatkan cobaan seperti itu.

“Saya trauma jika ijazah Rani harus ditahan seperti waktu SMP. Jika ditahan lagi, cucu saya harus lamar kerja pakai apa?” ungkapnya.

Saat ini, yang Aisyah inginkan adalah Rani bisa mengikuti ujian dan lulus, lalu mendapatkan ijazah terakhirnya, karena ia mengharapkan supaya ke depan Rani bisa bekerja dan membantu ekonomi keluarga di kala usianya semakin ringkih.

Ia juga mengaku, saat ini Rani sudah mendaftarkan diri menjadi calon mahasiswa baru di Politeknik Negeri Batam, ia mendaftar di jurusan administrasi.

”Maunya sih nanti kuliah sambil kerja,” tukas Rani yang mengenakan pakaian warna hijau.

Rani mengaku senang setelah pihak SMK Muhammadiyah meyakinkan dia bisa ikut UN.

”Senang dan bersyukur, karena gak mau lagi disuruh keluar dari ruangan ujian karena gak bayar uang semester. Trauma,” ucap cewek yang ingin jadi pegawai negeri ini.

Sementara itu, mengenai keseharian Rani, menurut seorang tetangganya, Rani merupakan tipe anak yang biasa-biasa saja, yang selalu menghabiskan waktunya di rumah saja.

”Kayak anak muda seusianya, jarang juga keluyuran,” pungkasnya. (YULIANTI/bp)

Baca Juga:
> Banyak Siswa Miskin Tak Sanggup Bayar SPP di SMK Muhammadiyah Batam
> Menteri Anies Cari Siswa Batam yang Terancam Tak Ikut UN karena Tak Mampu Bayar SPP
> Nunggak SPP, Siswi SMK Muhammadiyah Batam Ngaku Dilarang Ikut UN

Update