Mengulas Peran Strategis Pelabuhan Hulu Riau

Pengatur Perdagangan Rempah Dunia

0
316
Warga menggunakan sampan dayung melintas di Sungai Carang Tanjungpinang, beberap waktu lalu. (F. Yusnadi/Batampos)
Warga menggunakan sampan dayung melintas di Sungai Carang Tanjungpinang, beberap waktu lalu. (F. Yusnadi/Batampos)

Tanjungpinang, Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menyimpan banyak kisah sejarah. Bukan hanya tentang heroiknya Kesultanan Riau Lingga Johor Pahang dalam melawan penjajahan Belanda. Namun di negeri ini juga menyimpan jejak tentang makmurnya pertanian yang menghasilkan rempah-rempah. Hulu Riau sekarang dikenal Sungai Carang adalah salah satu pelabuhan tersibuk pada abad ke 17 sampai ke 18 setelah Malaka sebagai pengatur jalur perdagangan dunia.

JAILANI, Tanjungpinang

Dalam literatur sejarah, pada 1673 M disebutkan Laksamana Johor Tun Abdul Jamil melaksanakan titah Sultan Abdul Jalil Syah, Sultan Johor di Pahang. Adapun titahnya adalah membangun sebuah negeri di Pulau Bintan. Negeri baru yang terletak di Sungai Carang, Pulau Bintan, itulah yang kelak disebut Tanjungpinang, Ibu Kota Provinsi Kepri saat ini. Apalagi disana juga pernah berdiri megah pelabuhan yang menghubungkan jalur perdagangan internasional.

“Sebelum Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Lingga, dan kedudukan Yang Dipertuan Muda dipindahkan ke Pulau Penyengat Indera Sakti, kedua penguasa negeri itu berhimpun di pusat pemerintahan di Sungai Carang, Hulu Riau,” ujar Abdul Malik, Penulis Buku Sungai Carang Tapak Tuah dan Marwah.

Menurutnya, Sungai Carang memainkan perannya yang sangat signifikan dalam perjalanan sejarah kejayaan Kesultanan Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang. Dijelaskannya, dalam catatan sejarah yang ia himpun, setelah dibukanya Sungai Carang, tak diragukan lagi bahwa kawasan Tanjungpinang itu dapat menggantikan posisi Johor yang kala itu masih menjadi pusat pemerintahan kerajaan.

“Di kalangan masyarakat tempatan, kota itu juga disebut Riau Lama, Kota Raja, atau Kota Lama. Penamaan Kota Raja dilakukan sehubungan dengan kota itu dijadikan tempat kedudukan Sultan Riau Johor atau Yang Dipertuan Besar, yang kala itu dijabat oleh Sultan Ibrahim,” jelasnya.

Pria yang pernah menjadi Dekan Fakultan Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) tersebut memaparkan, Sungai Carang pulalah yang menjadi saksi sekaligus tempat bertolak, setahun kemudian, tatkala Sultan Ibrahim menitahkan Laksemana Tun Abdul Jamil untuk menjemput kembali marwah Kesultanan Riau Lingga Johor Pahang yang pernah dicabar ketika masih berpusat di Batu Sawar, Johor Lama.

Dikatakannya juga, dalam Buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (edisi revisi 2008) yang ditulis M.C Ricklefs tentang Hulu Riau (Sungai Carang) Indonesia Bagian Barat 1640-1800. Pada tahun 1687 terlihat ada 500-600 kapal dagang ada di Riau (Hulu Riau). Kapal dagang itu berasal dari Siam, Aceh, Inggris, Portugis dan Cina. Riau pelabuhan dagang yang sangat menjanjikan pada waktu itu.

“VOC Belanda membutuhkan Riau yang makmur. Eskpor timah, lada, gambir maju begitu pesat. Banyak cara agar Pelabuhan Riau maju. Kapal-kapal Cina dan Jawa yang menuju Malaka turut merapat ke Riau. Riau terus menjadi pusat perdagangan yang maju dan VOC tak bisa mengontrol,” jelasnya.

Meski tak banyak, dalam buku Sejarah Indonesia Modern ini tergambar ramainya Hulu Riau sebagai pusat perdagangan yang terbukti dengan banyaknya kapal dagang yang bersandar di sana. Menurutnya, jalur-jalur perdagangan dan konsep pelabuhan tersebut kemudian dicontek atau ditiru oleh Singapura. Bahkan jalur-jalur perdagangan yang dilaksanakan Singapura sekarang ini, masih mempertahankan jalur yang sudah dibuka oleh Kerajaan Riau Lingga Johor Pahang.

“Karena Kerajaan pada waktu itu juga sudah melaksanakan konsep pelabuhan bebas. Karena di Pelabuhan Riau atau Hulu Riau merupakan pusat pelabuhan yang mengatur pergerakan perdagangan internasional,” tutup Abdul Malik.

Sementara itu, Sejarawan Provinsi Kepri, Aswandi Syahri juga mengaku sangat tertarik tentang Hulu Riau (Sungai Carang). Dalam hematnya, Sungai Carang adalah urat nadi Kerajaan Riau Lingga yang diserang Belanda dalam perang Riau, tahun 1782-1784. Perang hebat yang yang berakhir 6 Januari 1784 itulah yang dicatat sebagai hari lahirnya Tanjungpinang.

Dijelaskannya, sebagai Ibu Kota Kerajaan Johor sejak pertengahan abad ke-17 hingga pertengahan abad ke 18, Bandar Riau di Sungai Carang sesungguhnya tidak menghasilkan apapun komoditi perdagangan yang dicari oleh pedagang antarbangsa ketika itu. Namun, pelabuhan itu sibuk dengan aktivitas perdagangan oleh pedagang antarbangsa yang datang dari Eropa, Asia dan Nusantara hingga menjadi saingan menakutkan pelabuhan Melaka yang sudah dikuasai VOC-Belanda.

“Meski tidak menghasilkan apa-apa, namun pada zamannya pelabuhan di Sungai Carang telah dikelola dengan manajemen yang baik hingga menarik minat para pedagang antarbangsa,” ujar Aswandi Syahri, Kamis (9/9) lalu di Tanjungpinang.

Perlahan namun pasti, negeri baru di Sungai Carang, Pulau Bintan, yang kemudian dikenal sebagai Riau itu menjadi tempat ‘nadi sejarah’ di Selat Melaka berdenyut. Awalnya, pembukaan negeri baru itu adalah bagian dari strategi pertahanan ketika Kerajaan Johor lama, yang masih berpusat di Semenanjung, kalah dalam peperangan dengan Jambi pada tarikh 1083 Hijriah bersaman dengan 1672 Miladiah.

Peristiwa pembukaan Negeri Riau di Pulau Bintan itu adalah sebuah historical watershed, sebuah titik sejarah yang sangat penting dalam tahap-tahap perjalanan sejarah yang panjang pada masa-masa berikutnya. Dari hanya sekedar sebuah benteng yang perlahan-lahan berubah menjadi pelabuan dagang, Negeri Riau yang terletak di Sungai Carang itu pada akhirnya silih-berganti menjadi ibukota Kerjaan Johor menggantikan ibukota lama di Semanjung sejak Sultan Ibrahim yang menggantikan ayahnya pindah ke negeri baru ini pada 1678.

“Banyak komoditi yang diperdagangkan lewat pelabuhan itu. Mulai candu, rempah-rempah, timah, dan hasil tambang lainnya,” jelas Aswandi.

Dulu Jantung Perdagangan, Sekarang Tinggal Kenangan

Peneliti Pertama di Balai Pelestarian Nilai Budaya, Dedi Arman mengatakan, kegemilangan Pelabuhan Riau yang dibangun Laksamana Tun Abdul Jamil kini seakan tinggal cerita. Sungai Carang yang menjadi urat nadi Pelabuhan Riau kini sungai yang sepi dan tidak dilewati lagi kapal-kapal barang berukuran besar. Hanya kapal-kapal nelayan yang sesekali lewat.

“Kejayaan Pelabuhan Riau tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat Riau. Pasang surut Pelabuhan Riau juga tidak dapat dilepaskan dari hubungan Riau Johor dengan VOC. Belanda dan Inggris juga terlibat persaingan dalam perebutan penguasaan ekonomi,” ujar Dedi Arman, Rabu (15/9) di Tanjungpinang.

Menurutnya, dari hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, Inggris membangun Singapura sebagai pelabuhan yang utama di Selat Malaka. Belanda mengantisipasinya dengan juga membangun membangun pelabuhan-pelabuhan bebas untuk menyaingi Singapura. Kegagalan menyaingi keberadaan Pelabuhan Singapura yang menjadi pelabuhan terbesar di Selat Malaka yang terjadi sejak zaman Belanda berlangsung hingga saat ini. Singapura tidak kunjung bisa disaingi.

“Negeri Riau di Sungai Carang, Pulau Bintan, inilah yang dilihat dari geladak kapalnya oleh Herke Becker, seorang mualim (stuurman) Maskapai Dagang Belanda Vereeniging Oost Indische Companie (VOC) pada tahun 1710,” jelasnya.

Pria yang pernah menjadi seorang jurnalis tersebut mengatakan, dalam literatur sejarah yang dikumpulkan, ketika itu, Riau telah menjadi sebuah pelabuhan yang dicatat oleh Herke Becker sebagai sebuah negorij (negeri) yang juga terkenal sebagai tempat pembuatan kapal. Dijelaskannya, menurut laporan Becker, sungai yang menjadi jalan masuk ke pelabuhan Negeri Riau itu dilindungi oleh sebuah perintang dan sarang meriam (kubu) yang dipersenjatai dengan tujuh buah bedil. Negeri utamanya terhampar 400 meter di belakang dua perintang itu.

“Dalam buku sejarah Herke Becker menggambarkan kawasan istana itu dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk yang bersusun rapat, yang terhampar di tebing sebelah Utara sungai; sebuah kawasan pemukiman di mana rumah-rumah baru dibangun setiap harinya. Adapun kompleks istana Sultan, yang disebut juga dengan istilah dalam, menurut bahasa istana raja-raja Melayu, terletak lebih ke hulu,” paparnya.

Usai dibuka oleh Laksamana Tun Abdul Jamil atas perintah Sultan Johor, Sultan Abdul Jalil Syah pada 1672, perlahan-lahan negeri baru di Sungai Carang, Pulau Bintan, yang kemudian dikenal sebagai Negeri Riau tumbuh menjadi tempat bersejarah di Selat Malaka berdenyut. Awalnya, pembukaan Negeri Riau itu adalah bagian dari strategi pertahanan ketika Kerajaan Johor lama, yang masih berpusat di Semenanjung, kalah dalam peperangan dengan Jambi pada tarikh 1083 Hijriah bersaman dengan 1672 Miladiah.

“Pembukaan Negeri Riau di Pulau Bintan itu sebuah titik sejarah yang sangat penting dalam kaitannya dengan tahap-tahap perjalanan sejarah yang panjang pada masa-masa berikutnya. Dari sebuah kawasan benteng yang perlahan-lahan berubah menjadi pelabuan dagang, Negeri Riau yang terletak di Sungai Carang itu,” jelasnya lagi.

Tampung Beragam Komoditas Dagang

Lantaran menjadi salah satu pelabuhan bebas tersibuk di dunia pada waktu itu, Pelabuhan Negeri Riau mampu tampil menjadi tempat berkumpulnya kapal-kapal dagang yang datang dari Eropa, Asia, dan Nusantara. Utusan-utusan kapal dagang VOC-Belanda yang datang berdagang ke pelabuhan Negeri Riau pada abad ke- 17 hingga menjelang dekade terakhir abad ke-18, sangat kagum dengan kemampuan Negeri Riau dalam mengelola pelabuhannya pada masa Laksamana Tun Abdul Jamil ini.

“Situasi pelabuhan Negeri Riau ketika itu menyerupai peranan yang telah dimainkan oleh pelabuhan Negeri Melaka lebih dari seratus tahun sebelumnya. Pelabuhan Negeri Riau di Sungai Carang ketika itu digambarkan sebagai sebuah entrepot antarbangsa. Sebuah pelabuhan penyalur komoditi dagang antarbangsa yang dilengkapi dengan gudang-gudang, dan pegawai-pegawai yang terampil dalam mengendalikan dan mengatur arus keluar masuk barang niaga,” ujar Peneliti Pertama di Balai Pelestarian Nilai Budaya, Dedi Arman, Rabu (15/9)

Dijelaskannya, meskipun tidak memproduksinya, ketika itu Negeri Riau mampu menyediakan komoditi lada, timah, dan berbagai jenis kain corak terbaru dengan harga yang murah. Begitu pula halnya dengan berbagai komoditi dagang lainnya yang dibutuhkan dalam perdagangan antarbangsa pada abad 17 dan 18 itu. Willem Valentyn dalam misinya ke Kerajaan Johor, melaporkan bahwa pelabuhan Negeri Riau ketika itu juga mampu menyediakan emas, kayu gaharu, kelembak (sejenis gaharu juga), batu benzoar yang digunakan untuk bahan obat, sarang burung, gading, kapur barus, tembaga, beras, sutera putih dari Cina, tembikar, kuali besi Cina, laken (sejens kain merah), benang emas Jepang, dan Candu.

Komoditi utama yang dihasilakan oleh Negeri Riau adalah gambir, hasil hutan, lada dan juga hasil laut. Semua itu menjadi faktor daya Tarik utama orang datang ke Riau. Ekspor gambir dari Kepulauan Riau pada tahun 1820-an, sangat menjanjikan. Tahun 1824 48.600 pikul dan naik tahun 1825 jadi 70.400 pikul. Tahun 1830, ekspor gambir dari Kepri 47.000 pikul. Tahun 1831 lebih dari 60.000 pikul. Tahun 1832 lebih dari 80.000 pikul.Gambir dikirim ke Singapura. Sebelumnya gambir dijual ke Pulau Jawa (Gerard Lauts, 1837).

“Namun pertanian-pertanian unggulan pada waktu itu, hanya tinggal jejaknya saja lagi. Karena tidak bertahan sampai kesaat ini,” tutup Dedi Arman.(***)