Jumat, 19 April 2024

Air semakin Langka, Bencana di Depan Mata

Berita Terkait

“Banyak orang bisa hidup tanpa cinta, tapi tak ada satupun bisa hidup tanpa air”. (Anonim)

San Diego, California terkenal sebagai salah kota yang ternyaman dan indah di Dunia. Banyak orang yang senang tinggal di Kota yang berbatasan dengan samudra Pasifik ini. Iklimnya hampir ideal, cuacanya cerah dan nyaman, bahkan di musim dingin sekalipun.

Tapi siapa sangka, dibalik kenyamanannya itu San Diego punya masalah besar. Kota ini tidak memiliki sumber air yang cukup.

Mengapa?

Curah hujan di kota berpenduduk lebih kurang 1,3 juta jiwa ini sangat rendah. Hanya sekitar 300 mm sampai 400 mm pertahunnya. Ini setara dengan Kenya yang hanya 200 mm – 600 mm.

Perubahan iklim akibat pemanasan global memperparah situasi. Intensitas curah hujan menjadi semakin sedikit. Sehingga sungai kering, mata air hilang, sumur tak berair lagi. Praktis sumber-sumber air kota ini menghilang.

Lalu, apa yang dilakukan San Diego?

Setelah kehilangan sumber air alami, San Diego terpaksa mengambil pilihan terakhir. Mereka mengubah air laut menjadi menjadi air tawar melalui proses Desalinasi.

Tahun 2016 silam, instalasi Desalinasi di San Diego mulai beroperasi. Instalasi yang mampu menyediakan 69 juta meter kubik air bersih pertahun ini dibangun dengan biaya USD 1 miliar. Atau sekitar Rp 14 triliun (Kurs Rp 14 ribu). Mantap bukan ?

Tenang, masih banyak fakta-fakta mengejutkan lainnya yang akan saya paparkan.

Beberapa kota di Australia juga mengalami kondisi yang tak jauh berbeda dengan San Diego. Dampak pemanasan global membuat mereka tak berdaya karena kehilangan sumber daya air. Perth dan Melbourne dua kota dengan profil yang hampir sama dengan San Diego. Iklimnya nyaris sempurna, cuacanya cerah, nyaman, sangat ideal untuk ditempati.

Ternyata kebutuhan air bersih juga dicukupi dengan menggunakan system Desalinasi, alias mengubah air laut menjadi air tawar. Mereka menghabiskan lebih dari USD 10 miliar untuk membangun 6 instalasi Desalinasi besar di beberapa kota.

Angkanya 10 kali lebih besar dibanding yang dikeluarkan oleh San Diego. Lebih dari Rp 140 triliun!

Beberapa kota tersebut diatas memang akhirnya harus menyerah pada alam, sehingga desalinasi adalah pilihan yang terpaksa harus diambil. Mereka survive karena punya cukup dana untuk membangun instalasi.

Pemanasan Global membuat iklim menjadi semakin rentan dan tidak bersahabat.

Lalu bagaimana dengan Batam?

Dulu Batam dikenal sebagai kota dengan curah hujan yang tinggi. Mencapai 2.400 mm pertahun. Ekosistem masih sangat terjaga. Terutama di daerah-daerah tangkapan air. Saya masih ingat dulu masih sering melihat embun menggantung rendah saat melintasi Sei Ladi dan beberapa kawasan hutan di pagi dan sore hari. Kaca mobil saya bisa basah. Padahal tidak hujan.

Tapi apa yang terjadi?

Tak sampai 20 tahun kemudian, curah hujan di Batam cenderung mengalami penurunan. Saat ini, angkanya telah berada di 1.600 mm – 1800 mm pertahun. Artinya turun hampir 30 persen. Ini diakibatkan oleh kombinasi dampak pemanasan global, kerusakan ekosistem dan semakin rusaknya lingkungan.

Soal kerusakan lingkungan, saya tak perlu paparkan lagi. Karena sudah sangat terang benderang dalam tulisan-tulisan saya terdahulu.

Silahkan baca lagi Kopi Benny edisi “Quo Vadis Dam Baloi” dan edisi “Diambang Krisis Air?”.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Batam yang mendorong peningkatan taraf hidup penduduk membuat kecenderungan penggunaan air semakin meningkat. Ironisnya, ketersediaan air kita semakin terbatas. Waduk-waduk yang ada cenderung tidak overflow karena curah hujan yang semakin rendah.

Jika dalam 20 tahun terakhir curah hujan di Batam turun sampai 30 persen, maka proyeksi saya dalam kurun waktu tak sampai 20 tahun lagi curah hujan di Batam akan mendekati 1.100 mm pertahun. Sama ketika terjadi Elnino di Batam pada tahun 2015, dimana curah hujan hanya 1.100 mm – 1.200 mm pertahun. Kita sudah merasakan dampaknya. Sangat dahsyat terhadap ketersediaan air baku di Batam. Hampir semua waduk kering.

Tanpa terkecuali.

Jika curah hujan turun hingga di bawah angka 1.000 mm pertahun, maka dapat dipastikan Batam tidak akan bisa bertahan. Kota dengan curah hujan di bawah 1.000 mm pertahun, sudah pasti jadi kota yang mengalami kesulitan air. Itu sudah pasti.

Padahal Anda perlu tahu, proyeksi pertambahan kebutuhan air di kota Batam di masa mendatang mencapai 3.000 hingga 5.000 liter perdetik. Atau dua kali lipat dari yang dikelola oleh ATB saat ini.
Lalu, apa langkah kita menghadapi potensi krisis air ini? Apa yang akan Batam lakukan untuk menyediakan air bagi penduduknya di masa mendatang?

Salah satu wacana yang mengemuka saat ini adalah mengubah air laut menjadi air tawar melalui proses Desalinasi. Apakah bisa dilakukan?

Saya harus bilang, teknologi saat ini membuat kita bisa melakukan hal tersebut. Tak jadi soal.

Tapi yang jadi pertanyaan adalah, apakah memungkinkan dilakukan di Batam? Mari kita telisik. Pertama, dari biaya investasi pembangunan instalasi Desalinasi.

San Diego membangun Desalination plant dengan kapasitas 69 juta meter kubik setahun dengan biaya USD 1 milliar. Mau tahu produksi air ATB setahun? Kita produksi 100 juta meter kubik, ini lebih besar dari San Diego. Jadi setidaknya butuh USD 1,4 Milliar, hampir 20 triliun rupiah!

Itu adalah biaya minimal. Karena seperti yang saya paparkan di atas, San Diego yang memiliki 1,3 juga penduduk butuh Rp 14 triliun. Itu belum termasuk luas area yang dibutuhkan dan energi listrik yang dibutuhkan..

Sebuah perusahaan penyedia jasa pengolahan dan penyaringan air asal Belanda pernah membuat kajian mengenai komponen-komponen biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah instalasi Desalinasi. Ternyata, biaya investasi pembangunan instalasi hanya 14 persen dari total biaya keseluruhan.

Anda tahu komponen apa yang menduduki porsi paling besar? Energi listrik. Proporsinya sekitar 41 persen. Hampir 3 kali lipat dari biaya yang dibutuhkan untuk investasi.

Masak sebesar itu? Saya akan jelaskan dengan rinci.
Penggunaan energi listrik untuk sistem desalinasi bisa mencapai 10 kali lipat dari energi listrik yang dibutuhkan oleh sistem konvensional.

Sebagai pembanding saya akan coba ambil sebuah contoh.
Saudi Arabia memiliki sebuah fasilitas Desalinasi bernama Ras Al Khair dengan kapasitas 1 juta meter kubik perhari atau sekitar 360 juta meter kubik setahun. Untuk operasionalnya, Ras Al Khair membutuhkan sekitar 2.400 MW energi listrik.

Mari kita main hitung-hitungan sedikit. Kapasitas produksi air di Batam saat ini sekitar 100 juta meter kubik setahun, atau 25 persen produksi di Ras Al Khair. Jika kita menggunakan Desalinasi, maka energi listrik yang dibutuhkan juga akan sebanding dengan 25 persen dari energi listrik yang dibutuhkan oleh Ras Al Khair. Sekitar 600 MW!

Berapa ketersediaan listrik kota Batam saat ini? Sekitar 400 MW. Tidak sampai 600 MW.

Apa gak tumbang satu kota Batam hanya untuk Desalinasi? Kita semua bisa hidup dalam kegelapan hanya untuk mengolah air laut menjadi air tawar!

Menjaga lingkungan dan ekosistem masih menjadi pilihan yang terbaik untuk menjaga kelestarian air di masa depan. Itu jauh lebih baik daripada kita terpaksa harus tergantung pada sistem Desalinasi. Membangun bendung baru masih merupakan solusi yang lebih efektif.

Kami sangat berharap, bahwa Kita harus memikirkan kelestarian ketersediaan air. Mari kita berbuat sebelum terlambat.

Sekali lagi. Benarkah sistem Desalinasi adalah pilihan yang akan kita ambil untuk masa depan Batam dan kota lain di Indonesia? Sudahkah kita memiliki duit cukup untuk mendanainya?
Mari kita pikirkan.

Salam Kopi Benny. (*)

Update